You are a great person if you ready to fall when you try to jump

Archive for October, 2012

I’m Your Husband [JongWoon-SoonHee’s Story]

 

Author: Ifa Raneza

Cast    :

-Yesung (Kim Jong Woon)

-Kim Soon Hee (OC)

Genre : Romance, Comedy(?), Marriage Life

Annyeong~ setelah udah beberapa bulan vakum dari couple ini saya balik lagi bawa cerita tentang couple setengah gila ini ke hadapan publik(?) karena banyak yang minta marriage life-nya. Okelah, inilah hasilnya.

Happy reading~ 😀

 

Cerita sebelumnya:

-My Last Dream

-I’ll Marry You, Kim Jong Woon

-Marry Him

 

** ** **

 

(Soon Hee POV)

 

Ukh… Apa ini? Kenapa badanku jadi berat begini? Dan lagipula… kenapa ada bau ini? Sepertinya bau ini tidak terlalu asing bagiku. Ini seperti bau Jong Woon… Eh, Jong Woon?

“Yaak!!! Lepaskan aku!!” teriakku histeris saat mendapati seorang namja tengah tertidur dengan wajah polosnya sambil memelukku erat. Bukannya melepaskan pelukannya, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuhku, membuatku semakin kesulitan untuk bernafas.

(more…)


This is a cool fanfiction that written by IJaggys, I think


Storm Inside (Sequel of Winter on Summer)

Author : Ifa Raneza

 

Cast  : Lee Dong Hae, Cheon Ji Hyun

 

Genre : Romance

 

The sequel of Winter on Summer.

 

 

***

 

 

“Lee Dong Hae. Let’s break up.”

Donghae tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat kedua telinganya mendengar kalimat itu keluar dari mulut yeoja yang tidak pernah ia duga akan mengatakannya. Kalimat yang merupakan hal paling tabu dalam kehidupannya. Kalimat yang mampu memutuskan berjuta sel syaraf di dalam tubuhnya. Ya, kalimat itu mampu membuat sekujur tubuhnya seperti tersengat aliran listrik berjuta volt.

Mwo?”

Hanya itu yang keluar dari mulutnya setelah beberapa saat terpaku. Kedua matanya terbuka lebar, seolah meyakinkan dirinya sendiri bahwa kalimat yang ia dengar barusan adalah sebuah khayalan belaka. (more…)


Winter on Summer

Winter on Summer

 

Author : Ifa Raneza

Cast  : Cheon Ji Hyun (OC), Lee Dong Hae

Genre        : Romance, Sad

 

 

~**~**~**~

 

 

Ini.. musim panas kan?

Satu pertanyaan muncul di dalam benak gadis itu. Matanya tetap menatap lurus ke depan, memandang titik terjauh dari hamparan laut di depan sana yang terlihat hampir tak berujung. Angin laut yang berhembus menerpa wajahnya yang hampir tanpa celah, membuat rambut hitam panjangnya bertiup hingga menutupi sebagian wajahnya. Namun ia tidak merapikan rambutnya, ia tetap menatap lurus ke depan tanpa senyuman, tanpa ekspresi. Bahkan ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Rasanya hatinya sudah mati rasa saat ini. Sakit yang ia rasakan terlalu sakit, hingga ia tidak dapat merasakan rasa sakit lagi sekarang. Dingin, hanya itu yang ia rasakan. Panasnya terik matahari di musim panas ini tidak dapat menghangatkan kulit pucatnya. Sepertinya musim dingin datang terlalu awal untuk gadis ini. (more…)


You’re Lie

YOU’RE LIE

 

Author : Ifa Raneza

 

Cast : Kang Shin Hee, Lee Sungmin

 

Genre : Sad, Romance, Angst

 

Cerita ini juga pernah di share di blogger saya dan SJFF ^^

****

 

 

Lebih baik kehilangan satu menit dalam hidup,

daripada harus kehilangan hidup dalam satu menit.

 

(Dhea Septyana Putri)

 

****

 

 

Aku adalah gadis yang paling menyedihkan di dunia ini.

 

 

____

(Kang Shin Hee POV)

 

Break up. Hanya itu yang kupikirkan. Aku ingin mengakhiri semua ini. Ya, semuanya. Semua yang terjadi di antara kami, antara aku dan Lee Sungmin. Tapi masalahnya sekarang adalah… apa aku bisa melakukan itu? Apa aku bisa hidup tanpa namja itu? Apa aku bisa tetap menjadi diriku sendiri tanpa namja-ku itu? Namja-ku? Bahkan aku tidak yakin dengan sebutan itu. Aku tidak yakin apa dia masih menganggapku sebagai yeoja-nya.

Setengah tahun. Selama itu ia terus bersikap seolah-olah aku tidak pernah ada. Itulah yang membuat keraguanku semakin besar. Tapi dia juga terkadang datang menghampiriku dan bersikap seperti Lee Sungmin yang kukenal, bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dan itu yang membuat aku berpikir ulang untuk pergi dari hidupnya. Dia… memang aktor yang baik. Dia bisa menjadi dua orang yang berbeda di depanku, orang yang paling mengenalnya.

“Apa aku pernah berkata bahwa aku sudah tidak mencintaimu lagi? Tidak pernah, kan? Kalau begitu apa yang kau ragukan, Shin Hee?”

Itu yang sering dikatakannya setiap kali aku tidak membalas senyumannya atau tidak bicara padanya. Itu yang membuatku merasa yakin bahwa dia masih mencintaiku. Tapi sekarang? Bohong jika kukatakan keyakinanku masih tetap sama. Aku sadar dia sudah bukan Sungmin yang dulu, Sungmin yang kukenal. Aku sadar aku bukan yeoja yang pantas untuknya. Tapi bisakah dia tidak menggantungkan aku seperti ini?

Tanpa kabar darinya aku melewati waktu setengah tahun terakhir dengan harapan dia akan kembali dan memanggilku dengan senyum aegyeo-nya yang tampak menggemaskan. Ya, dia memang pergi ke luar kota untuk bekerja. Entah sudah berapa ratus kali aku menghubunginya, tapi dia enggan menjawab teleponku. Jika dia menjawabnya pun, dia tidak pernah berbicara lebih dari dua menit. Sibuk, itu alasan yang selalu ia katakan padaku. Suaranya pun tak lagi sehangat dulu, tak lagi selembut dulu. Suaranya dingin. Bahkan ia hanya menjawab pertanyaanku seadanya dan tidak pernah menanyakan kabarku.

Bodoh. Kalau gadis lain menjadi aku, pasti gadis itu sudah mengakhiri semua ini. Sudah jelas bahwa dia sudah tidak mencintaiku seperti dulu. Tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi aku masih menunggumu, Lee Sungmin. Aku masih memegang kata-katamu. Karena kau belum pernah berkata bahwa kau sudah tidak mencintaiku, kan?

****

 

 

“Hei, Shin Hee. Kau kenapa?”

 

“Aku tidak apa-apa.”

 

“Jangan berbohong. Kau kenapa? Ceritakan saja padaku.”

 

“Sungmin-ah, kau tahu? Jaehyun baru saja dicampakkan pacarnya. Kasihan sekali dia.”

 

“Wae, Shin Hee? Apa kau takut nasibmu akan sama seperti Jaehyun?”

 

“Eh, bukan begitu. Maksudku…”

 

“Jangan bodoh, Shin Hee. Aku tidak mungkin membuangmu seperti apa yang mantan pacar Jaehyun lakukan padanya. Aku mencintaimu. Kau tahu, kan?”

 

“Ne.”

 

“Kau percaya padaku, kan?”

 

“Ne, Sungmin. Aku percaya padamu.”

****

 

 

Jantungku berdegup kencang saat ini. Bagaimana tidak? Aku berhadapan langsung dengan orang yang paling ingin kutemui. Ya, dia ada di sini, di depanku. Setelah setengah tahun akhirnya aku bisa bertemu dengannya saat aku menghadiri salah satu pameran di kota tempat tinggalnya. Tidak, aku tidak merencanakan semua ini. Aku tidak sengaja bertemu dengannya.

“Apa kabarmu?” tanyaku dengan menyembunyikan rasa senang yang membuncah dalam dadaku.

“Cepat katakan apa maumu,” ujarnya dingin, tanpa tersenyum sedikitpun padaku. Dia menatapku tajam tepat pada kedua manik mataku.

Aku hanya menelan ludahku yang terasa seperti batu. Menelan pil pahit yang tidak pernah kuduga.

“Kenapa kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?” tanyaku dengan suara yang sedikit serak, menyembunyikan rasa kecewa yang sudah menyelinap masuk ke dalam dadaku dan menghapus rasa senang yang ada di sana.

“Harus berapa kali kukatakan? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?” jawabnya dengan nada yang masih sama, dingin.

“Benar…” gumamku dengan pandangan yang menunduk dan menarik sudut bibirku miris. Aku tidak sanggup menatap sorot matanya yang begitu menusukku. Aku tidak sanggup untuk itu.

“Jadi apa lagi yang ingin kau katakan padaku?” tanyanya sambil menatapku jengah, membuat rasa perih mulai terasa di beberapa persendian dan dalam dadaku.

Sakit, rasanya sakit sekali melihat namjachingu-mu tidak menginginkan kehadiranmu seperti ini. Dan aku adalah salah satu contoh nyatanya.

“Kau ingat tanggal 4 April 2010?” ucapku pelan, bahkan aku ragu dia masih bisa mendengar suaraku.

Tampak namja itu menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaanku atau … apa dia memang sudah melupakan tanggal itu?

“Kau ingat… apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?” tanyaku dengan kedua mataku yang mulai memanas. Tuhan, tolong aku. Aku tidak mau menunjukkan kelemahanku padanya. Kumohon, kuatkan aku.

“Apa maksudmu?” tanyanya datar, seolah tanggal yang kusebutkan bukanlah tanggal yang penting.

“Jadi kau lupa?” ucapku lirih, dengan rasa kecewa yang semakin menjadi-jadi.

“Dengar, Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”

“Aku bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongku, membuatnya sedikit tertegun mendengarku tidak memanggilnya dengan sebutan Oppa seperti biasa.

Untuk apa? Dia bukan Sungmin-ku yang dulu. Dia bukan Sungmin yang kukenal. Jadi untuk apa aku memanggilnya Oppa? Untuk apa aku berkata manis padanya lagi?

“Aku juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku.”

“Huh…” Dia terkekeh. Ya, dia terkekeh mendengar ucapanku. Bukankah dia namja yang jahat untuk saat ini? “Omong kosong.”

“Salah,” kataku cepat, hampir memotong ucapannya. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku.”

“Hentikan,” desisnya tajam, menambah rasa muakku padanya.

“Kau pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapanku terputus saat kurasakan sebulir cairan hangat menuruni pipiku, air mata. Pertahananku runtuh. Aku menghembuskan nafas pelan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kalimatku. “Sekarang kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapku dengan suara yang semakin pelan pada akhir kalimat.

“Menurutmu?” tanyanya datar, membuatku menatapnya tak habis pikir. “Menurutmu kau itu apa? Kenapa masih bertanya padaku?”

Aku menundukkan kepalaku sebelum air mata yang jatuh dari pelupuk mataku semakin deras. Aku tidak mau namja kejam ini melihat kelemahanku lebih banyak lagi. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di depannya. Aku tidak mau… Aku tidak mau dia melihatku hancur. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga bisa hidup tanpanya.

Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya aku memberanikan diriku untuk mengeluarkan suara. Meskipun terdengar sedikit serak dan berat karena dadaku sudah terasa terlalu sesak, aku tetap mengeluarkan suaraku, mengatakan sesuatu padanya.

“Sungmin-ah,” ucapku pelan dengan menyembunyikan wajahku yang sudah penuh dengan air mata. “Kapan kau… akan melepaskanku?” tanyaku, berharap akan mendapatkan sanggahan dari namja di depanku ini.

Dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku, sementara rasa sakit terus menusuk jantungku. Dengan keberanian yang ada, aku menguatkan hatiku untuk mengangkat wajahku dan menatapnya. Dan apa yang kudapat? Kecewa. Ya, sesederhana itu, namun dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Kulihat seorang Lee Sungmin dengan santainya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melipat tangannya di depan dada.

“Sungmin-ah…”

“Aku tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapnya dengan sorot mata yang masih sama, terlalu menusuk. “Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?” tanyanya yang membuat tangisanku hampir semakin menjadi-jadi.

Aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan ucapannya yang memang benar adanya. Jadi begitu, Sungmin? Hanya sebatas itu aku bagimu? Aku hanya yeoja yang kaucintai di saat kau ingin mencintai, dan yeoja yang kautinggalkan saat kau sudah enggan untuk mencintai. Sederhana. Ternyata sesederhana itu aku di matamu. Sungmin, apa aku bisa menyebutmu sebagai namja paling kejam sedunia?

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku bangkit dari dudukku dan pergi dari hadapannya. Sudah cukup semua yang kutahu. Sudah cukup. Keraguanku yang selama ini terus menghantui hatiku berubah menjadi keyakinan yang sudah namja itu pertegas. Dia sudah tidak mencintaiku lagi. Ya, benar. Dia sudah menjadi Lee Sungmin yang baru. Dia bukan Sungmin yang hangat, dia bukan Sungmin yang penyayang. Dia yang sekarang adalah Sungmin yang dingin dan kejam. Cinta… Apa ada orang yang membuang orang yang dicintainya seperti ini?

“Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?”

Apa kau lupa, Sungmin? Aku yeojachingu­-mu. Aku yeoja yang selalu memimpikan bayangmu, aku yeoja yang selalu tersenyum saat kau merasa bahagia. Apa kau lupa semuanya? Begitu cepatnya kah kau melupakanku?

Pergi. Ya, hanya itu jalan terbaik untukku dan juga untuknya. Lee Sungmin, selamat tinggal. Aku tidak hanya akan pergi dari hadapanmu sekarang, tapi juga dari hidupmu, dari bayang-bayangmu.

Dengan pandangan yang semakin kabur karena terhalang air mata, aku terus melangkahkan kakiku. Aku menangis dalam diam. Hatiku tersayat, sakit… sakit sekali. Sampai-sampai aku lupa bagaimana caranya untuk mengatur nafasku yang mulai terengah karena terus-terusan menangis. Lama kelamaan langkahku semakin pelan. Hatiku semakin ragu saat kedua telingaku menangkap suara yang kukenal memanggil namaku. Tidak. Aku tidak boleh berbalik atau menoleh ke belakang. Itu hanya perasaanku saja. Ya, pasti hanya perasaanku saja. Jelas-jelas dia sudah membuangmu, Shin Hee. Apa lagi yang kauharapkan?

Tanpa memedulikan suara yang terus memanggilku, aku kembali melangkah pergi. Pergi dari hidupnya. Pergi dari bayang-bayangnya. Sungmin, ternyata aku salah. Kau bukan pria paling kejam sedunia, tapi aku adalah yeoja terbodoh sedunia yang mau percaya dengan kata-katamu dulu. Terima kasih kau sudah menyadarkanku. Terima kasih… untuk semuanya. Lee Sungmin, saranghae…

****

 

 

(Author POV)

 

Seorang namja masuk ke dalam sebuah ruangan kantor tanpa permisi atau sekedar mengetuk pintu terlebih dahulu. Tanpa mengontrol emosinya yang sudah meledak-ledak, namja itu menghampiri seorang namja yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia menarik kerah baju namja itu dan mendaratkan kepalan tangannya tepat pada wajah namja itu.

“Apa yang kaulakukan, Sungjin-ah?!” seru namja itu sambil memegangi pipi kirinya yang terasa nyeri karena pukulan adiknya itu.

“Apa yang kulakukan katamu?” desis namja bernama Sungjin itu sambil menatap mata kakaknya dengan penuh amarah. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Hyung! Apa yang sudah kaulakukan pada Shin Hee-noona?!” teriak Sungjin dengan dadanya yang naik turun karena menahan emosi.

Mwo?” gumam Sungmin tak mengerti dengan tatapan menuntut penjelasan.

“Jangan pura-pura bodoh, Hyung. Kau sudah menyakitinya. Kau sudah membuangnya!”

Sungmin tertegun mendengar ucapan Sungjin. Ia tahu pasti ke mana ucapan adiknya itu akan mengarah. Perlahan pikirannya kembali melayang pada ucapan Shin Hee sebulan yang lalu sebelum pada akhirnya gadis itu tak lagi bisa dihubungi atau ditemui. Ya, bodoh memang. Selama ini ia tidak pernah menghubungi yeojachingu-nya itu, bahkan ia enggan mengangkat telepon dari Shin Hee. Tapi sekarang dia malah menghubungi gadis itu, dan hasilnya? Gadis itu tidak bisa dihubungi. Ironis.

“Aku tidak membuangnya,” ucap Sungmin pelan, membuat senyum sinis terukir dengan sempurna di sudut bibir Sungjin.

“Menurutmu tidak menghiraukan gadismu sendiri selama setengah tahun dan tidak memedulikannya apa lagi kalau bukan membuangnya?” tanya Sungjin yang lebih terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan.

“Aku tidak membuangnya, Lee Sungjin!” teriak Sungmin, tidak terima dengan pernyataan Sungjin yang membuat hatinya terasa seperti teriris-iris.

“LALU APA?! APA YANG KAULAKUKAN PADANYA HINGGA DIA MEMILIH UNTUK PERGI?!!” balas Sungjin sambil mengguncang bahu Sungmin dengan kasar, membuat Sungmin sedikit terperangah mendengarnya.

Mwo?” ucapnya dengan tatapan tak percaya. Kini tangannya berbalik memegang bahu Sungjin dan mengguncangnya pelan. “Apa maksudmu? Pergi? Shin Hee pergi? Ke mana?” tanya Sungmin dengan kedua tangannya yang semakin kasar mengguncang bahu Sungjin. “KE MANA?!!” teriaknya, menuntut jawaban yang ia harapkan.

Sungjin menatap mata kakaknya datar, menunjukkan kekecewaannya pada Sungmin.

“Dia tidak akan kembali, Hyung,” ucapnya pelan, bukan jawaban yang Sungmin inginkan.

“Ke mana dia pergi?!” tanya Sungmin dengan nada yang semakin meninggi.

Wae? Kau ingin menyusulnya? Kau ingin datang ke hadapannya dan memohon padanya agar kembali?” tanya Sungjin dengan senyum sinis yang kembali terukir di bibirnya. “Terlambat, Hyung. Dia sudah pergi, jauh sekali.” Sungjin menundukkan kepalanya, mencoba menekan rasa sesak yang mulai terasa di dalam dadanya. “Dia… pergi meninggalkan dunia,” lanjutnya yang langsung membuat kedua tangan Sungmin melemas.

Tatapan Sungmin tak lagi terfokus pada wajah adiknya, melainkan pada lantai yang sedang ia pijak. Perlahan pandangannya mulai kabur karena cairan bening yang mulai menggenangi pelupuk matanya. Jika saja tangannya tak bertumpu pada meja kerjanya, Sungmin pasti sudah jatuh terduduk di lantai.

“Kanker darah.”

Sungmin mengangkat wajahnya saat mendengar dua kata itu keluar dari mulut Sungjin.

“Sebenarnya itu masih bisa diobati, tapi dia lebih memilih pergi,” lanjut Sungjin dengan nada yang penuh dengan penyesalan. Ia menatap wajah kakaknya yang sudah penuh dengan air mata. Air mata? Percuma. Gadis itu sudah pergi. Air matanya tidak akan berguna untuk saat ini. “Dan matamu yang sekarang adalah matanya, Hyung.”

Sungmin kembali menatap Sungjin dengan tatapan bingung. Matanya?

“Mataku?” ucapnya pelan.

Ne,” jawab Sungjin singkat. “Kau ingat kecelakaan yang kau alami sebulan yang lalu?” tanya Sungjin.

Sungmin mengangguk pelan. Ia memejamkan kedua matanya dengan air mata yang semakin deras menuruni pipi putihnya. Sakit. Ternyata sesakit ini yang Shin Hee rasakan selama ini. Ah, tidak. Mungkin rasa sakit yang gadis itu rasakan melebihi apa yang sekarang Sungmin rasakan.

“Dia mendonorkan matanya untukmu sebelum ia pergi meninggalkan kita semua. Aku juga baru tahu hal itu saat menemukan di mana makamnya,” kata Sungjin yang membuat rasa sakit yang Sungmin rasakan semakin menjadi-jadi. “Dia… sangat mencintaimu, Hyung.”

****

 

 

[Flashback]

 

(Lee Sungmin POV)

 

Aku duduk di kursi café tepat di hadapan yeoja yang selama enam bulan terakhir tidak pernah kutemui. Baik aku maupun dia tidak bersuara sedikitpun selama beberapa menit, sampai akhirnya ia membuka suara.

“Apa kabarmu?” tanyanya dengan senyum tipis yang masih sama seperti dulu, yang masih sehangat dulu.

“Cepat katakan apa maumu,” ujarku cepat tanpa mengatur nada bicaraku yang terdengar begitu dingin.

Kulihat lengkungan di bibirnya perlahan-lahan memudar. Kecewa, pasti itu yang ia rasakan sekarang.

“Kenapa kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

“Harus berapa kali kukatakan, Shin Hee? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?” jawabku dengan nada yang sama, dingin, membuatnya kembali menundukkan pandangannya. Ia tak lagi berani menatap mataku.

“Benar…” gumamnya.

“Jadi apa lagi yang ingin kaukatakan padaku?” tanyaku yang seolah tidak rela kehilangan waktu satu menit pun hanya untuk meladeninya.

Selama beberapa detik dia hanya terdiam sambil menyembunyikan wajahnya dibalik rambut hitamnya yang tergerai indah. Aku terus menatapnya, menunggunya untuk segera mengeluarkan suaranya.

“Kau ingat tanggal 4 April 2010?” tanyanya yang sontak membuat sebelah alisku terangkat.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan membuatnya kembali mengulangi pertanyaannya. “Kau… ingat apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?”

“Apa maksudmu?” tanyaku datar tanpa memutuskan kontak mataku pada matanya.

“Jadi kau lupa?” ucapnya lirih.

Bisa kulihat rahangnya yang mengeras, seperti menahan amarah atau… tangis? Entahlah, aku tidak tahu pasti. Yang pasti suara gadis itu tak lagi selembut tadi. Suaranya serak dan terdengar bergetar, seakan tangisnya akan pecah begitu saja saat satu kata keluar dari mulutku. Aku harus bagaimana sekarang? Haruskah aku lanjutkan ini? Melanjutkan obrolan yang hanya akan membuatnya semakin tersakiti? Shin Hee… Apa yang harus kulakukan?

“Dengar, Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”

“Aku bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongnya sebelum kalimatku selesai. Aku sedikit tertegun mendengar ucapannya. Sungmin? Dia memanggilku Sungmin? Dia tidak lagi memanggilku dengan sebutan Oppa?

“Aku juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku,” ucapnya lagi dengan suara yang semakin bergetar.

Menghancurkanmu? Apa yang kau katakan, Shin Hee? Aku benar-benar tidak mengerti.

“Huh…” Aku terkekeh. Kulihat raut wajahnya berubah saat mendengar kekehanku. Dia menatapku tak percaya, seakan semua ucapannya hanya kuanggap sebagai angin lalu. Apa lagi ini? Bagaimana mungkin aku bisa melihatmu hancur, Shin Hee? Jangan mengatakan omong kosong. “Omong kosong,” ucapku.

“Salah,” katanya cepat, hampir memotong ucapanku. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku,” lanjutnya yang langsung membuat kedua mataku terbuka lebar.

“Hentikan,” desisku tajam, membuat sudut bibirnya tertarik ke atas dan membentuk sebuah seringai. Apa kau muak padaku sekarang, Shin Hee?

“Kau pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapannya terputus saat sebulir cairan bening menuruni pipi putihnya.

Sekarang bisa kurasakan hatiku seperti diiris saat melihat air matanya jatuh. Ya, dia menangis. Gadisku itu menangis karenaku. Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang?

“Sekarang kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapnya dengan suara yang semakin pelan pada akhir kalimat.

“Menurutmu?” tanyaku datar, tak habis pikir dengan pertanyaannya. Apa lagi? Kau itu gadisku, Shin Hee! Gadisku! Apa kau lupa akan hal itu? “Menurutmu kau itu apa? Kenapa masih bertanya padaku?”

Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang tidak pernah bosan untuk kupandang. Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya dia memberanikan dirinya untuk mengeluarkan suara.

“Sungmin-ah,” ucapnya pelan dengan suara serak tanpa mau menatapku. “Kapan kau… akan melepaskanku?” tanyanya yang lagi-lagi membuatku terperangah. Tidak rela. Ya, aku tidak rela dengan semua ucapannya. Bagaimana mungkin dia berkata seolah-olah aku tidak mencintainya?

Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya yang juga tidak bisa kujawab. Shin Hee, mianhae. Aku tidak mau mengekangmu, tapi aku juga tidak akan pernah mau melepaskanmu. Ya, aku memang egois. Tapi inilah aku, seorang Lee Sungmin yang sedang berusaha untuk menjadi namja yang pantas untukmu. Seorang Lee Sungmin yang sedang kebingungan dengan keadaan.

Perlahan tubuhku mundur hingga punggungku menyentuh sandaran kursi dan melipat kedua tanganku di depan dada. Andai aku bisa, aku akan membawa gadis di depanku ini pergi ke tempat yang hanya ada kami berdua tanpa ada seorang pun yang bisa memisahkan atau menentang hubungan kami. Tapi pada kenyataannya aku hanya seorang Lee Sungmin. Dan keadaan telah mendesakku yang lemah ini untuk mengikuti alur cerita yang telah takdir buat.

Dengan menyembunyikan detak jantung yang berpacu cepat dan nafas yang tidak berhembus normal karena emosiku yang terguncang, aku mencoba tetap terlihat tenang di depannya. Meskipun beberapa kali tampak aku menelan ludahku sendiri, tidak tahan dengan situasi yang sedang kami hadapi.

“Sungmin-ah…”

“Aku tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapku datar sambil menatapnya tajam, seakan tidak rela dengan semua ucapannya padaku. “Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?” tanyaku lagi.

Dia mengangguk pelan dan mencoba menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan, meskipun hal itu terlihat begitu berat baginya. Kemudian ia meraih tasnya yang diletakkan di kursi yang ada di sebelahnya dan bangkit dari duduknya. Dan aku? Aku hanya bisa diam sambil memandanginya yang hendak pergi itu. Ya, semenit pun tidak akan kusia-siakan hanya untuk melihat wajahnya, wajah yang sangat kurindukan selama setengah tahun terakhir. Tapi kini wajah itu sudah basah dengan air mata dan tak seputih dulu, karena kini wajahnya sudah memerah. Dan semua itu karena aku.

Dia berjalan melewatiku yang masih duduk mematung, bingung dengan apa yang harus kulakukan. Detik-detik berlalu begitu saja dengan aku yang masih tidak bergerak sedikit pun. Perlahan aku memejamkan mataku, mencoba menguatkan hatiku untuk kembali berhadapan dengan gadisku itu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati dia yang sudah keluar dari café.

Menahannya. Itu yang paling ingin kulakukan sekarang. Tidak ada waktu lagi. Aku harus mengejarnya. Aku tidak mau kehilangan dia. Sedikit pun aku tidak akan melepaskannya.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan setengah berlari keluar café, hendak mengejarnya. Tapi terlambat, dia sudah menyeberang jalanan yang ramai dengan kendaraan dan para pejalan kaki, membuatku kesulitan untuk mengejarnya.

“Shin Hee!” teriakku, berharap langkahnya akan terhenti dan dia akan berbalik untuk menatapku.

Langkahnya berhenti, tapi dia masih belum berbalik. Di saat aku berharap dia akan berbalik, harapan itu langsung pupus begitu kulihat gadis itu kembali melangkahkan kakinya dengan langkah yang lebih cepat dan lebar.

“Shin Hee-ya! Shin Hee-ya!!” teriakku tak tertahankan. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang mengataiku gila karena berteriak memanggil-manggil orang yang tidak akan pernah menoleh padaku itu.

Tidak kehabisan akal, aku segera berlari ke arah mobilku yang terparkir di depan café. Dengan cepat dan tanpa mengenakan sabuk pengaman terlebih dahulu, segera kunyalakan mesin mobil dan menginjak gas dalam-dalam. Sedikitpun aku tidak akan pernah melepaskannya. Dia gadisku, gadisku seorang. Aku tidak mau kehilangan waktu walau hanya semenit pun untuk bisa bersamanya, bersama yeoja yang selama dua tahun terakhir selalu mengisi ruang hatiku.

Langit mendung mulai menurunkan titik-titik hujan, membuatku menggerutu karena hujan akan membuatku kesulitan untuk mencari sosoknya di tengah pejalan-pejalan kaki yang sudah berlarian. Akhirnya hujan deras turun, membuat jalanan menjadi licin dan membuatku semakin kesulitan mencari sosok gadis itu.

Hujan yang semakin deras dan jalanan yang licin menjadi aspek pendukung untuk membuat mobilku tergelincir. Ban mobilku tak lagi mampu menahan licinnya jalanan, ditambah lagi kecepatan mobilku yang seperti orang kesetanan langsung membuatku kelimpungan untuk mengontrol mobil. Alhasil ketika kulihat ada sebuah mobil lain di depanku, aku langsung membanting setir dan mobilku pun menabrak sebuah pohon yang cukup besar. Hal itu membuat kaca depan mobilku pecah. Sontak aku memejamkan kedua mataku saat kurasakan sesuatu yang masuk ke dalam mataku. Sakit. Itu yang kurasakan pada tubuh dan hatiku. Hatiku sakit sekali.

Dengan orang-orang yang semakin ramai mengerumuni mobilku yang sudah menabrak sebuah pohon, kesadaranku mulai menurun dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi padaku selanjutnya.

Lebih baik kehilangan satu menit dalam hidup,

daripada harus kehilangan hidup dalam satu menit.

 

(Dhea Septyana Putri)

****

 

 

Hampir dua minggu ini, duniaku menggelap. Pandanganku tak lagi seperti dulu. Ya, aku buta akibat beberapa serpihan kaca yang masuk ke dalam mataku. Terlebih lagi Shin Hee yang sama sekali tak bisa kuhubungi. Gadis itu sudah memilih untuk pergi dari kehidupanku. Dia… sudah membenciku. Sekarang aku tidak lagi bisa berharap apapun. Gadisku sudah pergi dan duniaku sudah gelap. Aku memang bukan namja yang pantas untuknya, terlebih lagi dengan kondisiku yang sekarang.

__

“Ahjussi, aku mencintai putrimu.”

 

“Kau mencintai anakku?”

 

“Ne, Ahjussi. Aku mencintai Kang Shin Hee seperti aku melebihi nyawaku sendiri, dan aku berjanji akan membuatnya bahagia.”

 

“Kalau begitu buktikan. Buktikan padaku bahwa kau adalah namja yang pantas menjadi pendamping hidup anakku. Buktikan bahwa kau bukan seorang namja rendah yang hanya bisa menjanjikan cinta pada anakku. Buktikan itu.”

 

“Baik. Aku akan membuktikan padamu bahwa aku adalah namja yang pantas dan bisa membahagiakan putrimu.”

 

“Jangan kembali sampai kau bisa membuktikan semua itu padaku.”

 

“Arraseo.”

 

__

“Mwo? Kau akan pindah ke luar kota?”

 

“Ne, aku akan pindah ke luar kota. Aku ingin mengejar cita-citaku di sana.”

 

“Sungmin-oppa… Apa kau serius? Kau serius ingin meninggalkanku di sini?”

 

“Shin Hee-ah…Bukan begitu. Aku akan kembali saat aku rasa aku sudah bisa menjadi namja yang baik untukmu. Ingat, Shin Hee. Aku tidak akan pernah berpaling darimu. Aku janji.”

 

“Jeongmal? Kau janji?”

 

“Ne, aku janji. Ah, tidak… Aku bersumpah tidak akan pernah berpaling darimu. Kau percaya padaku, kan?”

 

“Ne, Oppa. Aku percaya padamu.”

 

__

4 April 2010… Mana mungkin aku bisa melupakan tanggal itu. Itu tanggal saat Shin Hee menjadi milikku, saat dia menjadi gadisku, gadisku seorang. Itu adalah hari di mana aku merasa menjadi namja paling beruntung  di dunia, namja paling bahagia di dunia karena aku bisa menjadi kekasih seorang Kang Shin Hee yang menurutku begitu sempurna. Senyumnya, tatapannya, sentuhannya… semuanya. Semuanya tampak begitu sempurna di mataku. Tuhan telah menciptakan seorang yeoja yang mampu membuat semua namja berdecak kagum akan kesempurnaan ciptaannya, termasuk aku.

Tapi sekarang aku bukanlah namja yang pantas untuknya dengan kondisiku seperti ini. Tidak peduli sekeras apa usahaku selama setengah tahun ini untuk membuktikan janjiku pada ayah Shin Hee, Kang ahjussi. Pada akhirnya aku adalah seorang namja buta yang bahkan tidak bisa menahan kepergian yeoja-ku sendiri. Shin Hee… Bahkan sekarang aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dia sudah pulang ke kota tempat tinggalnya, tapi aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Sebenarnya dia ada di mana sekarang?

Hyung…”

Kuubah posisiku yang tadinya berbaring menjadi duduk di atas tempat tidur. Aku yakin itu pasti Sungjin, dongsaeng-ku. Aku sangat hapal suaranya.

Ne? Ada apa? Kau menemukan tempat tinggal Shin Hee yang sekarang?” tanyaku antusias, berharap dongsaeng-ku itu akan menjawabnya dengan jawaban yang aku inginkan. “Sungjin-ah?” ucapku memanggil namanya saat ia hanya diam. Kugoyang-goyangkan lengannya agar dia segera menjawab pertanyaanku.

Mianhae, Hyung…” ucapnya penuh penyesalan.

Aku hanya diam dan mencoba menarik sudut bibirku yang terasa begitu beku untuk digerakkan. Aku sudah tahu maksud ucapannya. Ya, Shin Hee… Sulit sekali menemukan gadis itu.

“Aku belum bisa menemukan di mana Shin Hee-noona berada sekarang,” ucapnya lagi yang hanya kurespon dengan anggukan pelan.

Gwaenchana.”

“Tapi aku punya kabar baik yang lain, Hyung,” ucap Sungjin dengan nada bicara yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Mwo?”

 

“Kau akan segera bisa melihat lagi, Hyung. Ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu,” ujarnya bersemangat.

Jinjjayo?”

 

Ne!”

Kau dengar, Shin Hee? Aku akan segera bisa melihat dunia lagi! Jadi, kumohon… Tunggu sampai aku bisa menemukanmu dan membuktikan pada appa-mu bahwa aku adalah namja yang pantas untukmu.

****

 

 

“Kau tidak senang, Hyung?” tanya Sungjin saat melihatku yang hanya tertunduk lesu sambil mengaduk-aduk makanan yang sudah tersedia di depanku.

“Aku senang sudah bisa melihat lagi. Aku sangat senang,” jawabku sekenanya dengan tanganku yang masih mengaduk makanan.
“Lalu? Kenapa dengan wajahmu itu? Kau seperti tidak bersemangat,” tanyanya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Shin Hee-noona, ne?” tebaknya.

Aku hanya mengangguk setelah beberapa detik sebelumnya sedikit tertegun mendengar tebakannya yang memang benar itu.

“Aku janji akan mencarinya untukmu, Hyung.”

Kuangkat wajahku agar bisa menatap dongsaeng yang selama ini selalu membantuku untuk mencari Shin Hee. Kulihat sudut bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk seulas senyuman. Senyuman yang selalu bisa menularkan semangatnya padaku.

Gomawo,” ucapku dengan sudut bibirku yang entah sejak kapan sudah membentuk sebuah lengkungan. “Jeongmal gomawo, Sungjin-ah.”

[Flashback end]

 

****

 

 

(Lee Sungmin POV)

 

 

“Terlambat, Hyung. Dia sudah pergi, jauh sekali.”

 

“Kanker darah.”

 

“Dan matamu yang sekarang adalah matanya, Hyung.”

 

“Dia… sangat mencintaimu, Hyung.”

 

Kata-kata itu terus berulang-ulang di dalam pikiranku sementara kedua kakiku terus melangkah di bukit hijau yang sepi dengan angin yang berhembus pelan, seolah-olah mendorongku untuk segera menemukan tempat yeoja yang kucintai berada. Pikiranku masih mencoba mencerna keadaan yang kualami saat ini. Ini… mimpi, kan?

Pertanyaan itu langsung terjawab saat mataku menangkap sebuah gundukan tanah dengan namanya yang tertulis rapi di batu nisannya. Di sana juga ada fotonya yang sedang tersenyum lebar. Senyuman yang kurindukan, dan senyuman itulah yang tidak kudapatkan di saat pertemuan terakhir kami.

Bodoh. Hanya kata itulah yang pantas kutujukan untuk diriku sendiri saat ini. Bagaimana bisa aku membiarkan yeoja-ku mengira aku sudah tidak mencintainya?

Kuamati tulisan namanya yang tertulis rapi.

Kang Shin Hee.

12 Januari 1986 – 4 April 2012.

4 April …

Shin Hee, kau ingat tanggal itu? Itu tanggal di mana kita seharusnya merayakan hari jadi kita yang ketiga tahun ini. Itu tanggal di mana kau dan aku resmi menjalin hubungan. Dan sekarang, itu adalah tanggal di saat kau meninggalkanku.

Shin Hee, kenapa aku bisa menjadi namja yang begitu bodoh? Kenapa bisa aku membiarkanmu berpikir bahwa aku sudah membuangmu? Kenapa kau lebih memilih untuk meninggalkanku?

Tanpa kusadari wajahku sudah penuh dengan air mata dan kedua tanganku yang meremas gundukan tanah yang ada di depanku. Aku begitu merindukannya. Dan kenapa di saat aku sudah menemukannya, dia malah sudah pergi meninggalkanku?

Shin Hee… Walaupun aku tidak bisa mencegahmu untuk pergi, tapi aku akan mencegah rasa ini pergi dari hatiku. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakanmu, walaupun akan ada yeoja lain yang mengisi hidupku nanti. Tapi bagiku kau adalah yeoja-ku. Sampai kapanpun kau adalah yeoja-ku, sampai aku mati. Dan mata ini. Aku akan menjaga mata yang sudah kauberikan padaku. Walaupun aku tidak bisa menggunakan sisa-sisa hidupku untuk membahagiakanmu, tapi aku janji, aku akan menggunakan sisa-sisa hidupku untuk mengenang dan terus mencintaimu. Sampai kapanpun… sampai aku mati.

-END-

 

Thanks to:

–       Emi Yulianingrum to be my inspiration

–       Hendiana to be first reader for this story

–       Dhea Septyana Putri for the quotes ^^

–       And… FOR ELF AND SUPER JUNIOR, AND ALSO FOR READERS ^^

Gomawooooo~!!! \( ^,^ )/


Stay Here (Sequel of My Memories With You)

Title   : Stay Here (Sequel of My Memories With You)

Author : Ifa Raneza

Genre : Sad, Romance, Angst, -little- Friendship

Cast   : Im Sungrin (OC), Cho Kyuhyun, Kim Ryeowook

 

Hai haaai~! 😀 Saya balik lagi nih bawa sequel dari My Memories With You 😀

Seneng banget karena respon dari readernya bagus banget xD kkkk

Sebelumnya makasih banget buat yang udah baca 😉

Di sini awalnya saya udah bikin sequelnya, tapi saya bikin ulang karena ceritanya agak gaje -__-v Dan inilah hasilnyaa~

Okelah, langsung dibaca aja ^^

Happy reading ^^

***

 

 

(Im Sungrin POV)

 

 

Eomma, kau melihat buku kuliahku?” tanyaku setengah berteriak dari dalam kamar saat aku tidak menemukan buku yang kucari.

Mwo? Buku kuliahmu yang mana? Kenapa bertanya pada Eomma?” kata ibuku balik bertanya. “Mungkin ada di kamar Minji,” ujarnya lagi yang langsung kuturuti.

Aku berhenti mencari buku di rak bukuku yang sudah tidak beraturan lagi dan berjalan masuk ke dalam kamar Minji, adikku. Seperti biasa kamarnya tidak dikunci saat ia berpergian, membuatku dengan mudah bisa ‘menggeledah’ kamarnya. Dia memang memiliki sifat buruk yang selalu meminjam barang-barangku tanpa memberitahuku sama sekali. Dasar anak itu!

Aku meneliti deretan buku yang tersusun rapi di rak bukunya. Lama aku mencari buku yang kubutuhkan, sampai akhirnya pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna hitam yang kurasa tak asing lagi bagiku. Setelah menarik buku itu dari rak buku bisa kusimpulkan itu bukanlah sebuah buku, melainkan album foto. Ini adalah album fotoku yang sudah lama hilang. Album foto ini berisi kenanganku dengan namja itu, namja yang sudah berhasil merebut hatiku. Perlahan tangan kananku tergerak untuk membukanya dan kenangan dua tahun lalu pun berputar kembali di otakku.

***

 

 

-2 Februari 2010-

 

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 23.59. Tinggal semenit lagi, maka namja-ku itu akan genap berusia 22 tahun. Dengan cekatan jari telunjukku menekan angka-angka pada kode keamanan apartemen. KLIK! Pintu terbuka dan aku melangkah masuk ke dalamnya. Langkah kakiku menuju pintu yang berada di sudut ruangan. Perlahan aku membuka pintu itu, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun yang bisa membangunkan orang yang berada di dalam ruangan.

 

Pandanganku langsung tertuju pada seorang namja yang tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Tanpa sadar melihat wajahnya yang sedang tertidur, sudut bibirku tertarik ke atas. Kuhampiri dia yang masih tertidur dan menyentuh wajahnya. Wajahnya persis seperti bayi, lucu sekali.

 

Satu… dua… tiga… Akhirnya jam menunjukkan waktu 00.00, tepat tengah malam. Kuguncang pelan lengannya sehingga membuatnya sedikit menggeliat. Akhirnya kedua matanya terbuka dengan sempurna dan langsung tertuju padaku.

 

“Hai,” sapaku.

 

Wajahnya masih sama, kebingungan. Mungkin ia bingung kenapa aku bisa ada di kamarnya.

 

“Kau… Sungrin, kan?” tanyanya polos sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

 

“Kau pikir siapa?” tanyaku sambil mengerucutkan bibirku, pura-pura kesal.

 

“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya lagi.

 

Aku mengendikkan bahuku. “Aku tahu password apartemenmu. Apa kau lupa itu?” kataku enteng.

 

“Yaak, bukan itu yang kutanyakan. Kenapa kau ada di sini? Tengah malam pula!” ujarnya sedikit kesal dengan jawabanku.

 

“Aissh… Apa jangan-jangan kau juga lupa, ya?” ucapku seraya merogoh tasku dan mengeluarkan ponsel. “Lihat ini, sekarang sudah tanggal berapa?” ujarku sambil menunjukkan kalender dalam ponselku.

 

Ia hanya melongo melihat layar ponselku dan perlahan-lahan raut wajahnya berubah.

 

“Aaaah, bagaimana aku bisa lupa ulang tahunku sendiri???” ujarnya histeris sambil menepuk tangannya berkali-kali. “Berarti aku sudah 22 tahun sekarang?” tanyanya antusias yang hanya kujawab dengan sekali anggukan.

 

“Happy birthday, Mr Cho,” ucapku sambil mengacak rambutnya pelan.

 

“Hanya itu?”

 

“Mwo?” tanyaku tak mengerti.

 

“Tidak ada kado untukku?” katanya balik bertanya yang kujawab dengan gelengan. “Issh… Yeoja macam apa kau yang tidak memberikan kado untuk namjachingu-nya?” ujarnya sambil menatapku dengan tatapan mematikannya yang sama sekali tidak mempan untukku.

 

“Yaak, apa menyelinap masuk ke kamarmu saat tengah malam masih kurang, hah?!”

 

“Tentu saja masih kurang, pabo!”

 

“YA! Kau mengataiku pabo, hah?! Sudah berani kau ternyata.”

 

“Beri aku kado!”

 

“Tidak ada!”

 

“Issh… Beri aku kado!”

 

“Aku tidak membawa kado, Kyuhyun-ah!”

 

Dapat kudengar desisannya sebelum akhirnya dia beringsut mendekat padaku yang duduk di tepi ranjangnya. Dia menatapku tepat pada kedua bola mataku dalam, membuatku sedikit bergidik melihatnya. Err… Sepertinya aku merasakan ada hal yang tidak beres di sini.

 

“Mau apa kau?” tanyaku sedikit takut saat posisi kami tidak sejauh tadi.

 

Dia menarik sudut bibirnya ke satu arah, bukan membentuk senyuman seperti biasa, melainkan sebuah seringai. Ya, dia menyeringai.

 

“Beri aku kado,” ucapnya pelan dengan suara yang sedikit berat, membuatku yang mendengarnya menjadi sedikit kesulitan menelan ludah.

 

“Mwo?”

 

Belum sempat aku berkata-kata lebih banyak lagi, tangan kanannya sudah meraih tengkukku dan menariknya agar wajah kami mendekat. Dia menghapus jarak antara wajah kami dan membuat bibirnya menyapu bibirku lembut.

 

“Temani aku tidur,” katanya setelah melepaskan tautan bibir kami.

 

“Mwo? Menemanimu tidur di sini?” ucapku kaget dengan kedua mata yang sudah terbelalak.

 

Ia hanya mengangguk dan menggeser tubuhnya. Lalu sebelah tangannya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, menyuruhku untuk segera merebahkan tubuhku di sana.

 

Aku menggelengkan kepalaku mantap. “Shireo!”

 

“Kau tidak bisa menolak!”

 

“Yaak, wae?”

 

“Menyelinap ke apartemen orang itu termasuk tindakan kriminal. Kau mau kulaporkan ke polisi?” ujarnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

 

“Aissh… Arraseo, arraseo,” ujarku sambil mengacak rambutku frustasi. “Jadi kau mau apa sekarang?”

 

“Apa masih kurang jelas? Temani aku tidur. Aku masih ngantuk, Sungrin-ah.”

 

Melihatku yang masih belum bergerak dari tempatku, dia menarikku agar mendekat padanya dan merebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Dia melingkarkan kedua tangannya di tubuhku, hampir membuatku sulit bernafas.

 

“Kau menjadi sanderaku sampai besok pagi, arra?” bisiknya tepat di telingaku dengan kedua matanya yang sudah tertutup.

 

“Arraseo,” balasku sambil ikut menutup mata dan membalas pelukannya.

***

 

 

Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak terkekeh mengingat sikapnya yang seperti anak kecil saat itu. Tanganku kembali membuka halaman berikutnya dan mendapati beberapa foto yang di dalamnya terdapat gambar seorang namja yang sedang mencium pipi yeoja yang ada di sebelahnya. Lagi, sudut bibirku tertarik ke atas bersamaan dengan otakku yang kembali memutar memori itu.

***

 

 

-4 April 2010-

 

“Hei, kemari!” ujarnya sambil menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kepadaku untuk menghampirinya.

 

“Kau lihat sunset di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah matahari yang hampir tenggelam di ujung hamparan laut.

 

“Aku belum buta, Kyuhyun-ah. Tentu saja aku bisa melihatnya.”

 

Dia menatapku kesal dan menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar dengan jelas. Lalu ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Sepertinya ia ingin mengabadikan moment ini.

 

“Ayo, berfoto,” ujarnya sambil memutar tubuhku agar membelakangi sunset.

 

Sebelah tangannya terangkat hendak memotret dengan ponselnya, sedangkan tangannya yang lain merangkulku hingga menghapus jarak antara tubuh kami. Aku menggeliat di dalam rangkulannya yang kurasa terlalu dekat ini.

 

“Jangan bergerak kalau kau tidak mau fotonya jelek,” ujarnya sambil menarikku kembali ke arahnya hingga lengan kami kembali bersentuhan.

 

“Kurasa posisi kita terlalu dekat,” ujarku sambil berusaha mengambil jarak.

 

“Jangan bergerak!” ujarnya seraya mengunci tubuhku dengan tangannya yang memiliki tenaga lebih besar dariku.

 

Tepat saat indera penglihatanku menangkap sinar blitz dari ponselnya, kurasakan ada sesuatu yang menyentuh pipiku, hangat. Aku menoleh dan mendapati bibirnya yang sudah menempel pada pipiku.

 

“Yaak! Kau mau mati, hah?!” seruku saat ia mulai berlari menjauh.

 

Tawanya menggema bersamaan dengan kakinya yang terus berlari. “Coba saja tangkap aku, Sungrin-ah!”

 

“Yaak! Kau menantangku, huh? Awas kau!”

 

Akhirnya sore itu kami habiskan dengan aksi kejar-kejaran yang tidak kumenangkan. Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membuatku secara tidak sengaja menubruk punggungnya. Ia memutar badannya dan segera mengunci tubuhku dengan pelukannya. Sekeras apapun aku memberontak agar ia melepaskan pelukannya, tetap saja ia makin mengeratkan pelukannya. Sesekali ia mengecup puncak kepalaku, dan di detik berikutnya tawa kami pun terdengar.

 

 

***

 

 

-7 Juli 2010-

 

 

Lagi-lagi aku memeriksa jam tangan yang melingkar indah di tangan kananku dengan gusar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Namja itu––namja bernama Cho Kyuhyun itu––selalu berhasil membuatku khawatir ketika dia datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Apalagi ini kencan yang dia janjikan untuk merayakan hari jadi kami yang pertama. Ke mana namja itu? Apa dia lupa kalau hari ini ada janji denganku?

 

Aku hampir saja beranjak dari bangku taman saat sebuah tangan menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh dan mendapati seorang namja sedang tersenyum seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun.

 

“Mau ke mana, Girl?”

 

Aku mendengus kesal. “Kenapa lama sekali?”

 

Ia hanya terkekeh pelan, lalu menuntunku untuk kembali duduk. “Mian, aku ada urusan penting tadi.”

 

“Urusan penting?” Aku membuang muka ke arah hamparan rumput yang ada di depanku. Kesal sekaligus kecewa padanya. “Apa lebih penting dariku?”

 

“Ani. Tapi sama pentingnya.”

 

Kutolehkan kepalaku cepat ke arahnya. “Sama pentingnya? Wow,” kataku kecewa.

 

Ia mengangguk mantap, lalu sebelah tangannya merogoh saku jaket hitam yang sedang ia kenakan. Mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang ada di tangannya.

 

“Ini?”

 

Ia mengangguk. “Ne, ini milikmu.”

 

“Jadi kau mempersiapkan ini?” tanyaku sambil menatapnya haru. Tanpa kusadari buliran air mata sudah meluncur di pipiku.

 

Ibu jarinya segera menghapus cairan bening itu, lalu mengelus pipiku lembut. “Kau suka?” tanyanya seraya mengangkat tangan kananku.

 

Pandanganku beralih dari wajahnya ke benda berkilauan yang sudah terpasang indah di jari manisku. Sejak kapan dia memasangnya? Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.

 

“Ne, nan joha,” jawabku setelah pandanganku kembali tertuju pada wajahnya.

 

“Kyu,” panggilku memecah keheningan yang beberapa detik terakhir menyelimuti kami. “Tetap di sini, di sampingku.”

 

Ia tertawa pelan membuatku mengerutkan alis.

 

“Wae? Apa yang lucu?”

 

Pelan, ia menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. “Sudah berapa kali kau mengatakan hal itu? Aku akan selalu di sini, Sung Rin,” katanya sembari menggerakkan tangannya menuntun tanganku untuk menyentuh dadaku sendiri. “Dan kau, namamu, sosokmu, dan semua tentangmu akan selalu ada di sini, di hatiku,” lanjutnya, menuntun tanganku menyentuh dadanya.

 

Aku tersenyum. Dia mengatakan hal sangat benar dan sangat kuyakini kebenarannya.

 

“Saranghae, Im Sung Rin… Jeongmal saranghaeyo.”

 

“Nado. Nado saranghae…”

 

 

***

 

 

-10 September 2011-

 

 

“Kau sakit?” tanyaku saat mendapati wajahnya yang tak lagi seputih dulu, melainkan pucat pasi.

 

Ia hanya menggeleng sambil menarik sudut bibirnya yang kurasa terlalu sulit untuk ia lakukan saat ini. Tampak sekali ia sedang berbohong padaku.

 

“Katakan padaku,” desakku.

 

Perlahan senyumnya memudar dan raut wajahnya berubah serius. Ia menghembuskan nafasnya perlahan dan menatapku dengan mata sayunya.

 

“Sebenarnya aku sudah lama mengidap penyakit,” katanya tenang. “Jantungku memiliki kelainan.”

 

Aku membelalakkan kedua mataku, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. “Kau… Ini tidak mungkin, Kyu,” ujarku berharap yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan.

 

Ia menggeleng pelan. “Itulah kenyataannya.”

 

Aku hanya bisa menutup mulutku yang setengah terbuka dengan tangan kiriku. Aku masih belum siap untuk mengetahui kenyataan ini.

 

“Sudah berapa lama?” tanyaku.

 

“Setahun.”

 

“Satu tahun?”

 

Ia mengangguk. “Tepat sebulan setelah hari jadi kita yang pertama,” katanya membuat keterkejutanku makin menjadi.

 

“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” tanyaku gusar.

 

“Karena sekaranglah aku baru siap untuk memberitahumu.”

 

Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang entah sejak kapan sudah meluncur bebas di pipiku. Kurasakan tangan hangatnya menggenggam kedua tanganku, membuat kehangatannya menjalar ke kedua tanganku.

 

“Terima kenyataan, Sung Rin…” ucapnya tetap tenang.

 

“Aku takut…”

 

Ia mengecup kedua tanganku lembut, lalu tatapannya tertuju langsung pada kedua bola mataku dalam. “Jangan takut, Sung Rin. Aku akan tetap menemanimu. Kau ingat janjiku?” katanya.

 

Aku mengangguk lemah, mengiyakan pertanyaannya.

 

“Kalau begitu apa yang kautakutkan?” tanyanya yang tak sanggup untuk kujawab.

 

Apa dia sebodoh itu sampai-sampai tak mengerti arti ucapanku? Aku takut kehilanganmu, Kyu…

 

 

***

 

 

-9 Desember 2011-

 

“Saranghae…” ucapku pelan sambil menatap kosong sebuah gundukan tanah di depanku, sebuah makam.

 

Cho Kyuhyun. Begitu yang tertulis di sana. Nama itu sudah tertulis di sebuah makam, menandakan pemilik nama itu tidak akan bisa lagi kutemui di dunia ini. Tuhan sudah mengambilnya dan memindahkannya ke sisi-Nya.

 

Pagi ini aku mengantarkan namja itu ke tempat peristirahatan terakhirnya tanpa air mata, tanpa tangisan. Hitam, warna yang paling kubenci. Tapi aku juga tidak dapat menghindari mataku yang menangkap semua orang yang hadir mengenakan pakaian serba hitam, tanda berduka.

 

Lama aku berada di sana, sampai semua orang sudah pulang, kecuali aku. “Saranghae…” Hanya kata itu yang terus keluar dari bibirku dengan tatapanku yang masih belum beralih dari makamnya. Terdapat sebuah foto di depan makamnya. Di sana tampak ia yang sedang tersenyum lebar, senyum yang selalu berhasil membuatku juga ikut tersenyum. Tapi kini aku tidak tahu harus ikut tersenyum atau menangisi kepergiannya. Air mata, sampai detik ini pun cairan bening itu belum keluar dari pelupuk mataku tanpa usahaku untuk mencegahnya keluar.

 

Akhirnya aku beranjak dari tempatku. Saat aku berbalik, mataku bertemu dengan mata seorang namja yang berdiri tidak terlalu jauh dariku. Seorang namja…

 

 

***

 

Eonnie?

Aku menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Kulihat Minji sedang berdiri di ambang pintu sambil menatapku kaget. Aku hanya membalas tatapannya dengan tersenyum tipis.

Eonnie… Itu…” ucapnya menggantung saat tatapannya beralih pada album foto yang ada di dalam genggamanku.

Aku mengangguk pelan, mengerti maksud ucapannya. Aku tahu, pasti dia yang sudah menyembunyikan album foto ini, album foto yang penuh dengan kenanganku dan Kyuhyun. Album foto ini hilang saat aku pulang dari pemakaman Kyuhyun, seolah lenyap bersamaan dengan perginya Kyuhyun. Setahun sudah Kyuhyun meninggal, dan selama itu pula aku mulai melupakan tentang hilangnya album foto ini. Tapi sekarang aku sudah menemukannya kembali.

Mianhae,” ucap Minji sambil tertunduk, tidak berani untuk menatapku.

Aku menaikkan sebelah alisku, menyuruhnya untuk menjelaskan maksud ucapannya.

“Maaf, Eonnie. Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya. Hanya saja…” ucapnya menggantung, lalu tatapannya kembali tertuju padaku. “Aku takut Eonnie tidak bisa menerima kepergian Kyuhyun-oppa kalau kau masih mengingatnya. Jadi kusembunyikan saja album foto itu. Mi-mian,” lanjutnya dengan kepala yang kembali tertunduk.

“Tidak apa-apa…” ucapku yang langsung membuat Minji mengangkat wajahnya dan menatapku. “Terima kasih.”

“Awalnya aku ingin membuangnya.”

Tatapanku yang semula tertuju pada album foto di tanganku beralih padanya. “Membuangnya?”

Ne.” Dia mengangguk. “Tapi aku takut. Jadi… Aku hanya menyembunyikannya.”

“Tapi kau hebat. Menyembunyikan album fotoku selama setahun dan tidak ketahuan.”

“Tapi sekarang kau sudah menemukannya, kan?” ucapnya sambil tersenyum kecil padaku.

Ia menghampiriku yang masih duduk di lantai dengan album foto yang berada di pangkuanku. Ia menyandarkan punggungnya pada sisi tempat tidur dan menatap ke arahku.

“Jadi bagaimana hubunganmu dengan Ryeowook-oppa?” tanyanya dengan tatapan penuh arti.

“Hubungan apa?”

“Mungkin dia bisa… yaah, kau tahu maksudku.”

Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya.

“Mungkin belum…” gumamku.

Ryeowook, orang yang kutemui tepat di hari saat Kyuhyun dimakamkan. Aku menyayangi Ryeowook, orang yang selalu berada di sampingku setelah Kyuhyun meninggal. Tapi aku tidak mau menjadikan Ryeowook sebagai alatku untuk mengisi kekosongan hatiku. Dia bukan alat, tapi dia adalah orang yang selalu membuatku tenang. Teman? Sahabat? Entahlah, aku bingung menyebutnya sebagai apa saat ini.

“Dia mencarimu, Eonnie.”

Aku menoleh pada Minji dan menatapnya penuh tanya.

“Ryeowook-oppa ada di bawah.”

Aku menutup album foto yang berisi foto-fotoku dengan Kyuhyun dan bangkit dari dudukku. Kulihat sebelah tangan Minji meraih album foto itu, mungkin ia ingin menyembunyikannya lagi di tempat yang tidak bisa kutemukan. Aku keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Di ruang tamu tampak seorang namja sedang duduk sambil memain-mainkan kunci mobil yang ada di tangannya.

“Hai,” sapaku sambil tersenyum padanya.

Ia menoleh padaku dan bangkit dari duduknya.

“Kau ada waktu hari ini?” tanyanya.

Wae?” kataku balik bertanya.

“Kau mau pergi bersamaku?”

Aku mengangguk pelan dan berkata, “Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu.”

***

 

 

(Kim Ryeowook POV)

 

“Bagaimana kabar ibumu?” tanyaku saat kami sudah duduk di tepi sungai Han.

Aku menatapnya dari samping sementara tatapannya masih tertuju pada pemandangan di depannya.

“Baik,” jawabnya tanpa menoleh padaku sedikitpun. “Kabar ibumu sendiri?”

“Dia juga baik.”

Aku mengalihkan tatapanku mengikuti ke arah pandangnya. Rasanya tenang sekali bisa berdua dengannya di tempat yang tidak ada orang lain selain kami. Dia––Im Sungrin––adalah yeoja yang kutemui di sebuah pemakaman, dan mulai saat itu aku memutuskan untuk melindungi dan menemaninya. Yaah, walaupun lama kelamaan aku merasa ada perasaan absurd yang tumbuh dalam diriku. Cinta? Entahlah.

“Kau ingat pertemuan pertama kita?” tanyaku setelah hening menyelimuti kami selama beberapa menit.

“Tentu saja aku ingat.”

“Waktu itu kau tidak tahu siapa aku, kan?”

Dia menganggukkan kepalanya pelan dengan tatapan setengah menerawang.

“Sampai sekarang pun mungkin kau belum tahu siapa aku sebenarnya,” ucapku lagi, membuatnya langsung menoleh dan menatapku penuh tanya.

Aku menarik sudut bibirku sambil menatapnya penuh arti. “Kau mau tahu bagaimana aku bisa mengenalmu?”

Sekali lagi dia mengangguk. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan, lalu menatapnya yang sedang melemparkan tatapan penuh tanda tanya padaku, menungguku untuk memulai cerita. Dan suaraku pun mulai keluar, memutar memori satu tahun yang lalu.

***

 

 

Aku baru saja keluar dari ruang rawat inap kerabatku saat kulihat seorang yeoja yang sangat kukenali sedang duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Penasaran, aku pun menghampiri dan menyapanya. Tidak disangka ternyata dia adalah noona dari teman masa kecilku, Cho Ahra. Setelah kutanya kenapa dia bisa ada di sini, dia berkata bahwa teman masa kecilku itu sedang sakit keras. Ada kelainan pada jantungnya.

 

Aku pun masuk ke dalam ruang di mana teman masa kecilku itu dirawat. Tampak namja itu sedang terbaring lemah dengan wajahnya yang tak lagi putih bersih, melainkan pucat dan seakan tak berdaya.

 

“Nugu?” tanyanya dengan suara yang berat, seakan sangat sulit untuk ia keluarkan.

 

“Kim Ryeowook. Kau masih ingat aku?” jawabku dengan menyebutkan namaku, berharap dia akan segera mengenali teman masa kecilnya ini.

 

Dia menarik sudut bibirnya sehingga membentuk seulas senyum yang menurutku masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu.

 

“Mungkin umurku tidak akan lama lagi,” ucapnya tiba-tiba setelah waktu satu jam kami habiskan untuk melepas rindu.

 

Aku hanya menaikkan sebelah alisku, tak mengerti maksud ucapannya.

 

“Mungkin kau akan bertemu dengan Im Sungrin,” ucapnya lagi.

 

“Yeojachingu-mu?” tanyaku dengan menebak.

 

Sekali lagi ia mengukir senyumnya dan mengangguk pelan. “Aku mohon setelah aku pergi, kau bisa menjaganya.”

 

“Apa maksudmu?” tanyaku dengan sedikit rasa takut mendengar permintaannya.

 

“Kau jelas tahu maksudku.”

 

“Lalu bagaimana…”

 

“Aku mohon, kau jaga dia seperti menjaga yeoja-mu sendiri.”

 

Aku hanya mengangguk, mengiyakan permintaannya meskipun aku sendiri masih kurang mengerti dengan ucapannya. ‘Yeoja-mu sendiri’. Apa maksudnya?

 

“Gomawo, chingu…”

 

 

***

 

 

Kyuhyun benar. Sebulan kemudian dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan semua orang yang mencintainya berada di sisinya, termasuk yeoja itu––Im Sungrin. Berbeda dengan ibu, ayah, atau kakak Kyuhyun, yeoja itu sama sekali tidak meneteskan air mata. Ia hanya menatap kosong makam Kyuhyun tanpa mengeluarkan sebulir pun air mata. Ia terus berdiri sambil memandangi makam Kyuhyun dan sesekali bibirnya mengucapkan sesuatu, sementara aku hanya memerhatikannya dari kejauhan. Lama ia di sana, sampai semua orang yang hadir di pemakaman itu pulang, kecuali kami.

 

Tepat saat yeoja itu berbalik, mata kami bertemu. Seakan mengerti arti tatapannya, aku pun berkata, “Aku Kim Ryeowook.”

 

Bukannya mengerti, ia malah menaikkan sebelah alisnya. “Ryeowook… nugu?”

 

“Kau akan mengenalku nanti,” ucapku penuh arti seraya mengulurkan tangan kananku, menunggunya untuk meraih tanganku.

 

Aku tak berharap ia akan meraih tanganku dan setuju saat aku menawarkan untuk mengantarnya pulang, karena aku tahu dia masih belum mengenalku dengan baik. Tapi tidak kusangka dia meraih tanganku dan menyetujui ajakanku.

 

Mulai saat itu aku mengenalnya dengan baik. Tentangnya, tentang kehidupannya, keluarganya, di mana dia kuliah, dan tentang hubungannya dengan Kyuhyun. Aku menepati janjiku pada Kyuhyun, aku menjaga yeoja-nya. Aku melindungi dan menemani Sungrin seperti apa Kyuhyun pinta padaku––menjaganya seperti menjaga yeoja-ku sendiri.

 

 

***

 

 

Kini aku bisa melihat sedikit keterkejutan dari tatapannya yang ia lemparkan padaku. Aku hanya membalas tatapannya dengan tersenyum tipis. Sekarang dia sudah mengerti siapa aku, dan kenapa aku bisa muncul di dalam kehidupannya secara tiba-tiba.

“Jadi, kau…” ucapnya menggantung, masih dalam efek keterkejutannya.

Aku menganggukkan kepalaku pelan. “Sudah mengerti siapa aku?” ucapku yang tidak ia jawab.

Ia menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan sebelah tangannya sambil terus menatapku dengan tatapan terkejutnya.

“Jadi, Kyuhyun yang…”

Ne, dia yang memintaku untuk menjagamu selama ini,” ucapku melanjutkan ucapannya yang sempat terputus. “Namja yang baik, bukan?” tanyaku sambil terkekeh pelan.

Kini Sungrin tidak lagi bersuara, hanya suara isakannya yang terdengar di telingaku. Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah sungai di depanku. Aku menatap riak-riak air sambil menghirup udara yang begitu menyejukkan paru-paruku.

“Kau tahu? Kyuhyun pernah bilang padaku kalau dia adalah secret admirer-mu saat kalian masih SMA,” ujarku yang lagi-lagi mendapatkan tatapan terkejut dari yeoja di sebelahku ini.

Mwo?” ucapnya pelan hampir seperti bisikan.

“Tapi dia baru berani mengungkapkan perasaannya padamu saat kuliah,” jawabku sambil sekali lagi terkekeh pelan. “Bukankah dia bodoh, Sungrin-ah?” tanyaku dengan menyembunyikan getaran dalam suaraku.

Sungrin tidak menjawab. Masih sama seperti tadi, hanya suara isakannya yang terdengar di telingaku.

“Kenapa dia begitu bodoh? Kenapa dia tidak mengungkapkan perasaannya padamu lebih awal sehingga kalian bisa bersama lebih lama?” ucapku dengan pandangan yang menunduk dan suara yang tidak setenang tadi. Perlahan air mataku meluncur ke pipiku, menyusul Sungrin yang memang sudah menangis.

“Dan dengan bodohnya dia menitipkan yeoja-nya pada teman masa kecilnya yang tidak tahu apa-apa ini,” kataku lagi dengan suara yang bergetar dan kekehan pahit pada akhir kalimatku. “Bodoh…” gumamku. “Cho Kyuhyun, kau bodoh sekali…”

“Ryeong…”

Aku menoleh pada Sungrin dan kini mata kami yang sama-sama basah karena air mata bertemu.

Gomawo,” ucapnya tulus sambil menarik sudut bibirnya dengan berat. “Terima kasih untuk semuanya…” lanjutnya sebelum isak tangisnya kembali terdengar.

Cheonmaneyo…” balasku dengan sudut bibirku yang juga sudah tertarik ke atas.

Kuraih belakang kepalanya dan menariknya ke dalam dekapanku. Tidak ada penolakan darinya, dan kini wajahnya sudah terbenam pada dadaku. Kuelus pelan punggungnya, mencoba menyalurkan kehangatan ke dalam dirinya. Kurasakan nafasnya yang mulai teratur dalam pelukanku. Dia sudah mulai tenang.

“Seharusnya Kyuhyun tidak menitipkanmu padaku,” ucapku.

Dia langsung mendorong pelan dadaku hingga kini mata kami kembali bertemu. Kulihat masih ada sisa-sisa air mata di sudut matanya.

Mwo?” ucapnya tak mengerti.

“Karena sekarang aku rasa aku sudah bukan lagi seorang Kim Ryeowook yang dipinta Kyuhyun untuk menjagamu,” ujarku yang membuatnya sekali lagi tersentak. “Perasaan itu datang begitu saja, dan aku… Aku tidak mau mengganti posisi Kyuhyun di hatimu, tapi…” Kuhembuskan nafasku perlahan dan setelah keberanianku terkumpul, aku mulai mengeluarkan suaraku kembali. “I love you.”

Sekali lagi Sungrin menatapku dengan tatapan terkejut.

I love you,” ucapku mengulangi perkataanku sebelumnya. “Aku tidak berharap kau akan membalas perasaanku, tapi… Aku hanya ingin kau tahu perasaanku. Just it.

Kini pandanganku tak lagi menatap padanya. Aku tidak terlalu berani untuk kembali menatap matanya. Tidak untuk saat ini, setelah aku mengungkapkan perasaanku padanya. Kami tenggelam dalam suasana hening. Setelah beberapa menit, akhirnya kuberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku, menatapnya.

“Aku mohon, jangan menjauhiku setelah ini,” ucapku memohon padanya.

Ia membalas tatapanku dan menarik sudut bibirnya. “Aku tidak bilang akan menjauhimu.”

Lama mata kami bertemu, sampai akhirnya tanpa sadar aku sudah mendekatkan wajahku padanya. Dan bahkan wajah kami terlalu dekat, atau mungkin tidak ada lagi jarak antara wajah kami. Kumiringkan kepalaku saat bibir kami hampir bersentuhan, dan… Kurasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirku. Tidak ada penolakan darinya dan itu membuatku semakin lama menempelkan bibirku pada bibirnya.

“Mungkin setelah ini aku akan membuatmu menjadi yeoja-ku,” ucapku setelah tautan bibir kami terlepas.

“Apa?”

“Karena aku sudah tidak bisa melepaskanmu lagi, Sungrin-ah.”

Aku mengalihkan tatapanku pada sungai di depanku dan perlahan sebelah tanganku tergerak menariknya ke dalam dekapanku.

“Benar kataku, kan? Kyuhyun itu bodoh. Kenapa bisa-bisanya dia menitipkan yeoja-nya padaku sementara dia tahu rasa ini pasti akan tumbuh,” ujarku setengah menerawang tanpa mengalihkan tatapanku pada pemandangan di depanku.

Kurasakan dia memukul pelan dadaku.

“Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal,” ujarnya yang diakhiri dengan kekehan.

Aku ikut terkekeh.

So?” ucapku setelah beberapa detik hening menyelimuti kami. “Apa kau juga merasakan hal yang sama?” tanyaku.

“Mungkin,” ucapnya pelan. “Mollayo… Tapi kalau kau benar-benar mencintaiku, seharusnya kau berusaha untuk membuatku jatuh cinta padamu, kan?”

Dan sekali lagi senyum di bibirku mengembang. “Arraseo.”

Kyuhyun… Andai saja saat itu aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan bertemu dan jatuh cinta pada yeoja ini, Im Sungrin. Sekarang giliranku yang berterima kasih padanya karena ia sudah menitipkan yeoja-nya padaku dan mengizinkan rasa ini tumbuh. Gomawo… Jeongmal gomawo, chingu.

-END-

Yap! Akhirnya selesai juga sequelnya. Makasih banget loh buat readers yang udah ngasih respon positif buat My Memories With You nya. Sumpah, gak nyangka bisa dapet respon positif kayak kemaren T^T

Dan sequel ini… saya juga nggak tahu ceritanya bagus dan feelnya dapet atau nggak. Soalnya ngebet banget buat nyelesain cerita ini pas liat readers yang setuju sama sequel yang aku tawarin. Muahahaha xD

Kritik, komentar, dan saran sangat diharapkan di sini. Supaya saya bisa terus nulis cerita yang lebih baik tentunya 😀

Sekali lagi saya ucapin gomawo buat readers yang udah nyempetin baca dan ninggalin komentar. C U ! ^^


My Memories With You

Title     : My Memories With You

Author: Ifa Raneza

Cast     : Cho Kyuhyun, Im Sung Rin (OC)

Genre  : Romance, Angst, -little- Friendship

Type    : Oneshoot

*This story and the OC are mine. Ide cerita ini didapat dari otak pas-pas(?) saya dan nggak plagiat. Kalau ada persamaan cerita, tokoh, atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya kebetulan ^^*

~***~

“Benar kau mencintaiku?” tanyaku sambil terus menatap kedua bola matanya lurus-lurus.

Perlahan sebelah tangannya meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat. “Ne, saranghaeyo. Jeongmal saranghaeyo, Im Sung Rin. Aku ingin kau menjadi milikku. Hanya milikku seorang,” jawabnya, menatap mataku dalam.

“Kalau begitu, tetaplah di sini, di sampingku.”

“Baik, akan kulakukan itu. Aku berjanji padamu.”

~***~

Lagi-lagi aku memeriksa jam tangan yang melingkar indah di tangan kananku dengan gusar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Namja itu––namja bernama Cho Kyuhyun itu––selalu berhasil membuatku khawatir ketika dia datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Apalagi ini kencan yang dia janjikan untuk merayakan hari jadi kami yang pertama. Ke mana namja itu? Apa dia lupa kalau hari ini ada janji denganku?

Aku hampir saja beranjak dari bangku taman saat sebuah tangan menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh dan mendapati seorang namja sedang tersenyum seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun.

“Mau ke mana, Girl?”

Aku mendengus kesal. “Kenapa lama sekali?”

Ia hanya terkekeh pelan, lalu menuntunku untuk kembali duduk. “Mian, aku ada urusan penting tadi.”

“Urusan penting?” Aku membuang muka ke arah hamparan rumput yang ada di depanku. Kesal sekaligus kecewa padanya. “Apa lebih penting dariku?”

“Ani. Tapi sama pentingnya.”

Kutolehkan kepalaku cepat ke arahnya. “Sama pentingnya? Wow,” kataku kecewa.

Ia mengangguk mantap, lalu sebelah tangannya merogoh saku jaket hitam yang sedang ia kenakan. Mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang ada di tangannya.

“Ini?”

Ia mengangguk. “Ne, ini milikmu.”

“Jadi kau mempersiapkan ini?” tanyaku sambil menatapnya haru. Tanpa kusadari butiran air mata sudah meluncur di pipiku.

Ibu jarinya segera menghapus cairan bening itu, lalu mengelus pipiku lembut. “Kau suka?” tanyanya seraya mengangkat tangan kananku.

Pandanganku beralih dari wajahnya ke benda berkilauan yang sudah terpasang indah di jari manisku. Sejak kapan dia memasangnya? Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.

“Ne, nan joha,” jawabku setelah pandanganku kembali tertuju pada wajahnya.

“Kyu,” panggilku memecah keheningan yang beberapa detik terakhir menyelimuti kami. “Tetap di sini, di sampingku.”

Ia tertawa pelan membuatku mengerutkan alis.

“Wae? Apa yang lucu?”

Pelan, ia menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. “Sudah berapa kali kau mengatakan hal itu? Aku akan selalu di sini, Sung Rin,” katanya sembari menggerakkan tangannya menuntun tanganku untuk menyentuh dadaku sendiri. “Dan kau, namamu, sosokmu, dan semua tentangmu akan selalu ada di sini, di hatiku,” lanjutnya, menuntun tanganku menyentuh dadanya.

Aku tersenyum. Dia mengatakan hal sangat benar dan sangat kuyakini kebenarannya.

“Saranghae, Im Sung Rin… Jeongmal saranghaeyo.”

“Nado. Nado saranghae…”

~***~

 

“Sudah, jangan menangis,” bujuknya berharap air mataku segera berhenti untuk keluar. “Kau sudah berusaha.”

Aku menggeleng-geleng lemah. “Mungkin aku kurang berusaha,” ucapku di sela-sela tangisan.

Perlahan ia memegangi kedua pipiku dan mengelusnya pelan. “Kau sudah berusaha keras, aku tahu itu.”

“Tapi––”

“Hei,” ujarnya memotong ucapanku. “Ke mana Im Sung Rin yang kukenal selama ini? Kau sudah berusaha, hanya saja belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan medali emas itu,” ujarnya mencoba menguatkanku. “Kau harus kuat, ne?”

Aku mengangguk dan membalas senyumannya. “Gomawo, Kyu.”

“Terima kasih untuk apa?” tanyanya.

“Terima kasih sudah menguatkanku.”

Ia terkekeh, lalu mengacak-acak rambutku. “Bukan aku, tapi pada dasarnya kau memang gadis yang kuat, Sung Rin,” katanya seraya menarikku ke dalam dekapannya. “Tetaplah menjadi gadis yang kuat, tetaplah menjadi Im Sung Rin yang kukenal.”

“Ne, aku akan tetap menjadi Im Sung Rin yang selama ini kaukenal.”

~***~

“Sebenarnya aku sudah lama mengidap penyakit,” katanya tenang sambil menatapku dengan tatapan teduhnya. “Jantungku memiliki kelainan.”

Aku membelalakkan kedua mataku. Pandanganku beralih padanya yang sedang tersenyum sambil terus menatapku. “Kau… Ini tidak mungkin, Kyu,” ujarku berharap yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan.

Ia menggeleng pelan. “Itulah kenyataannya.”

Aku hanya bisa menutup mulutku yang setengah terbuka dengan tangan kiriku. Aku masih belum siap untuk mengetahui kenyataan ini.

“Sudah berapa lama?” tanyaku.

“Setahun yang lalu.”

“Setahun yang lalu?”

Ia mengangguk. “Tepat sebulan setelah hari jadi kita yang pertama,” katanya membuat keterkejutanku makin menjadi.

“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” tanyaku gusar.

“Karena sekaranglah aku baru siap untuk memberitahumu.”

Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang entah sejak kapan sudah meluncur bebas di pipiku. Kurasakan tangan hangatnya menggenggam kedua tanganku, membuat kehangatannya menjalar ke kedua tanganku.

“Terima kenyataan, Sung Rin…” ucapnya tetap tenang.

“Aku takut…”

Ia mengecup kedua tanganku lembut, lalu tatapannya tertuju langsung pada kedua bola mataku dalam. “Jangan takut, Sung Rin. Aku akan tetap menemanimu. Kau ingat janjiku?” katanya.

Aku mengangguk lemah, mengiyakan pertanyaannya.

“Kalau begitu apa yang kautakutkan?” tanyanya yang tak sanggup untuk kujawab.

Cho Kyuhyun, apa kau masih tidak juga mengerti jawabannya? Aku takut, Kyu. Aku takut kehilanganmu…

~***~

“Sung Rin,” panggilnya lemah.

Aku menoleh pada sosoknya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Aku menatapnya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sewaktu-waktu bisa keluar begitu saja.

“Ne?”

“Pulanglah, kau pasti lelah menemaniku di sini selama dua minggu terakhir,” ucapnya sembari mengulas sebuah senyuman hangat di bibirnya.

“Aniya, aku ingin di sini. Aku ingin menemanimu.”

“Tapi, Sung––”

“Aku ingin di sini, di sampingmu, Kyu. Apa itu salah?” kataku memotong ucapannya.

Ia tidak menjawab, hanya tersenyum. Sebelah tangannya terangkat dengan lemah, menyentuh rambut hitamku.

“Bukankah sudah kubilang kalau aku akan selalu ada di sana, di hatimu. Dan kau akan selalu ada di sini,” katanya sembari menyentuh dadanya. “Selamanya.”

Tidak kutahu pasti sejak kapan, tapi cairan bening sudah membasahi pipiku. Tidak bisa kutahan lagi, air mataku keluar walaupun aku tersenyum. Aku tersenyum mendengar ucapannya.

“Kau percaya itu, kan?” tanyanya lemah.

Kuanggukan kepalaku, mengiyakan ucapannya. “I believe that, Kyuhyun. And I’ll believe that in my heart. Forever.”

Ia masih tersenyum padaku, sampai akhirnya kusadari senyumnya perlahan memudar. Wajahnya tampak sangat kesakitan, napasnya pun sedikit tersengal.

“W-wae, Kyu? Waeyo?” tanyaku panik.

“A-aniya… Aku tidak apa-apa,” jawabnya lirih, berusaha untuk tersenyum padaku.

“Tapi, Kyu… Kau––”

“Sung Rin-ah,” katanya memotong kalimatku. “Bisa kau… panggilkan dokter? Dadaku… sangat sakit.”

Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung menekan tombol merah yang ada di samping tempat tidur. Tak berapa lama beberapa orang perawat dan seorang dokter masuk ke dalam kamar bernuansa serba putih dan berbau obat ini.

“Ada apa?” tanya salah seorang dari mereka.

“Kyuhyun… pasien itu…” ucapku tak beraturan sambil menunjuk ke arah Kyuhyun yang terbaring lemah sambil mengatur napasnya yang masih tersengal.

Dokter langsung mengerti maksudku. Dengan sigap ia memeriksa keadaan Kyuhyun yang sudah sangat mengkhawatirkan itu. Setelah beberapa menit menangani Kyuhyun, mereka mendorong tempat tidur Kyuhyun dan membawanya keluar.

“Wae… waeyo?” tanyaku tergagap, bingung dengan apa yang sedang mereka lakukan. “Ada apa? Kenapa dia dibawa keluar?”

“Maaf, Agassi. Dia harus segera dioperasi,” jawab dokter yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku.

“Tapi… tapi kenapa, Dokter?” tanyaku masih tidak mengerti.

Tanpa menjawab pertanyaanku, dokter itu langsung keluar dari kamar ini, meninggalkanku yang masih tidak mengerti dengan keadaan ini sendirian. Aku segera keluar dari kamar itu dan mendapati Ahra-eonnie––kakak Kyuhyun––beserta kedua orang tuanya sudah duduk di bangku sambil terisak.

“Eonnie…”

“Sung Rin… Dia… Dia sudah tidak bisa diharapkan lagi. Jantungnya… jantungnya sudah…”

“Ani, Eonnie! Operasi itu pasti akan berhasil! Dia pasti akan baik-baik saja,” ujarku memotong ucapan Ahra-eonnie.

Kemudian aku berlari mengejar para suster dan dokter yang membawa Kyuhyun ke ruang operasi. Aku meraih tangannya saat berhasil mengejar mereka.

“Sung Rin…” panggilnya lirih.

“Ne, Kyu. Jangan banyak bicara, kau sangat lemah,” sahutku sambil terus menggenggam tangannya dan melangkahkan kakiku mengikuti berjalannya para suster yang membawa Kyuhyun.

“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu…”

“Aku tahu, Kyu. Aku tahu itu. Nado saranghae.”

“Percayalah padaku, Sung Rin-ah. Kau akan selalu ada di hatiku. Apapun yang terjadi, kau akan selalu ada di hatiku.”

Aku mengangguk sambil menahan cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mataku agar tidak keluar. Aku tidak mau dia melihatku menangis. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya.

“Aku, Cho Kyuhyun… akan selalu menepati janjiku padamu. Aku akan selalu ada hatimu. Aku akan selalu ada di sana, walaupun aku tidak berada di sampingmu… Kau harus percaya itu, Im Sung Rin…”

“Ne, Kyu. Aku percaya.”

“Percayalah, Yeobo… Percayalah bahwa…”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tanganku sudah terlepas dari tangannya. Aku berhenti di tempatku menatapnya yang sudah dibawa ke dalam ruang operasi.

“Bahwa aku mencintaimu. Saranghae, Im Sung Rin. Aku sangat mencintaimu, Sung Rin-ku,” katanya lemah. Sempat kulihat senyum hangatnya sebelum sosoknya benar-benar menghilang dari pandanganku di balik pintu yang tertutup rapat.

 

Kaki-kakiku sudah tidak kuat lagi menyangga berat tubuhku. Aku terduduk di lantai berlapis ubin putih yang dingin. Air mataku jatuh dan segera membanjiri pipiku. Hatiku sakit, sangat sakit melihatnya begitu lemah dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku merasa seperti gadis yang benar-benar tidak berdaya. Aku merasa lebih tidak berdaya dari Kyuhyun. Bahkan ia masih bisa menguatkanku dengan senyumnya, sementara aku? Aku hanya bisa menunggunya di sini. Di depan ruangan yang selalu tertutup… membuatku tidak bisa melihat sosoknya.

~***~

Aku masuk ke salah satu ruangan serba putih, di mana bisa kurasakan suasana yang membuatku tidak nyaman, sangat tidak nyaman. Tapi kutepis perasaan itu agar bisa melihat sosoknya, Kyuhyun-ku.

Bisa kulihat dia terbaring di atas tempat tidur. Kuseret sebuah kursi ke samping tempat tidurnya dan duduk di sana. Aku menyentuh rambut cokelatnya, lalu turun ke matanya yang masih tertutup, membuatku bingung kenapa dia tidak membuka matanya. Apa dia tidak menyadari kehadiranku? Atau dia tidak mau melihatku? Entahlah. Kulitnya yang putih pucat terasa sangat dingin saat kusentuh. Aku mencium pipinya, pipi yang sudah lama tidak kucium. Lalu jari-jariku turun ke bibirnya yang masih mengulas senyum. Aku ikut tersenyum melihat wajah tenangnya.

“Eonnie,” panggilku.

“Ne, Sung Rin?” sahut Ahra-eonnie yang ada di sebelahku dengan suara serak.

“Lihatlah wajahnya. Dia sangat tenang, bukan?” kataku masih tidak memalingkan pandangan dari wajah namja itu.

Sedetik kemudian tangis Ahra-eonnie pecah. Mungkin karena kata-kataku barusan. Suasana haru makin terasa di ruangan ini. Tapi aku tidak peduli, aku masih memusatkan perhatianku pada sosok Kyuhyun, namja yang sangat kucintai.

Benar… aku percaya. Aku percaya pada kata-katanya, pada ketulusannya walaupun sekarang dia tidak bersuara untuk memanggilku atau mengatakan sesuatu padaku, walaupun dia tidak membuka matanya dan menatapku. Aku percaya dia akan selalu ada di sini, di hatiku. Dia mencintaiku dan aku pun begitu, aku sangat mencintainya. Sampai kapanpun dia akan selalu ada di sini, di hatiku.

~***~

“Sung Rin…”

Aku menoleh ke arah pintu, menatap sosoknya yang sedang berdiri di ambang pintu kamarku dengan mengulas senyum di bibirnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bibir pintu dan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Kau masih ingat kejadian itu?” tanyanya seraya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

Aku menggeleng. “Tidak, tidak semuanya. Hanya saat aku menatapmu yang terbaring di atas tempat tidur sementara eomma dan noona-mu menangis.”

“Apa yang kautatap?”

“Bibirmu. Aku menatap senyummu, senyum yang selalu berhasil menguatkanku.”

Ia tersenyum, sebelah tangannya mendarat di puncak kepalaku dan mengacak rambutku pelan.

“Kau terlihat damai sekali saat itu. Tetaplah tenang, Kyu,” kataku lagi.

Ne, aku akan tenang,” sahutnya membuatku tersenyum. “Sung Rin.”

Ne?”

“Kau masih percaya kata-kataku, kan?”

Aku mengangguk. “Aku percaya dan akan selalu percaya.”

“Benar. Pegang kata-kataku itu dan jangan pernah melupakannya. Karena jika kau melupakannya, mungkin saja kau tidak akan sekuat sekarang.”

“Kyu, kau juga harus percaya padaku. Aku akan kuat demi kau. Kau harus tenang, arra?”

Ia tersenyum membalas senyumanku. “Arra,” ucapnya. “Ingat, aku selalu ada di hatimu.”

Ne,” kataku sambil mengangguk.

Kemudian ia merangkuh kedua sisi wajahku dan menghapus jarak antara bibirnya dengan bibirku. Kehangatan itu––kehangatan yang sama saat dia tersenyum padaku––menjalar dari bibir ke seluruh tubuhku. Mataku masih terbuka menatap matanya yang tertutup sambil terus menciumku, sampai akhirnya mataku juga ikut tertutup.

~***~

“Mimpi itu lagi?” tanya Ryeowook, sahabatku yang selama ini selalu menemaniku.

Aku mengangguk pelan seraya bangun dari tempat tidur. Aku memegangi kepalaku yang masih terasa pusing. Aku selalu merasa pusing ketika bangun tidur, itu sudah menjadi kebiasaanku.

“Pelan-pelan saja, Sung Rin.”

Aku menatap sosok namja yang ada di sebelahku. Entah sejak kapan dia berada di kamarku, tepatnya di samping tempat tidurku. Ya, selama ini dia selalu melakukan hal itu. Setiap hari, setiap bangun tidur, aku akan melihat sosoknya. Sosok Ryeowook yang selalu menemaniku, bersama Kyuhyun di dalam hatiku.

Tidak seperti biasanya, aku mengambil frame foto yang ada di meja kecil di samping tempat tidurku. Aku menatap sosok namja yang ada dalam foto itu, mengelusnya. Ia tersenyum di dalam foto itu dengan senyum yang selalu menjadi penguatku. Dan tanpa kusadari senyumku sudah mengembang.

Miss him?

Kuangkat kepalaku menatap Ryeowook yang sudah duduk di depanku.

“Untuk apa aku merindukannya? Dia selalu ada di sini,” jawabku seraya mengangkat sebelah tanganku menyentuh dadaku.

Ia tersenyum, lalu mengacak rambutku pelan. “Bagus.”

“Ryeong…” panggilku.

Ne?”

“Aku ingin ke ‘sana’. Kau temani aku, ya?” pintaku.

Bisa kulihat ia mengulas senyumnya––senyuman yang sama seperti senyum Kyuhyun––sama-sama bisa menguatkanku.

“Baiklah, akan kutemani. Cepat mandi, aku tunggu di bawah,” ujarnya seraya beranjak dan keluar dari kamarku.

Dan di sinilah kami sekarang, di tempat sepi yang sangat luas. Kuletakkan bunga di depan sebuah makam, lalu berjongkok di depannya.

“Hai,” ucapku pelan. “Masih ingat Ryeong?”

“Tentu saja dia masih ingat, Sung Rin. Setiap kau ke sini, aku pasti ikut, kan?” kata Ryeowook membuatku tersenyum kecil.

Ne, benar juga,” sahutku.

Annyeong, Chagi. Aku pergi dulu,” ucapku sebelum beranjak dan berjalan pelan meninggalkan Ryeowook yang ada di belakangku.

Aku memang tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Tempat ini membuatku merasa tidak nyaman, tentu saja karena ini adalah sebuah makam. Cukup dengan berbicara sebentar dan melihat makamnya, aku sudah sangat senang.

“Pulang sekarang?” tanya Ryeowook yang sudah ada di sampingku sambil menyamakan langkahnya dengan langkahku.

Aku mengangguk. Lalu aku menghentikan langkahku, membuat langkahnya juga berhenti.

Wae?” tanyanya bingung.

Aku mengulas senyumku dan memeluknya erat. Bisa kurasakan tubuhnya menegang dalam pelukanku. Tidak memerdulikan hal itu, aku masih memeluknya. Lalu setelah puas, aku melepas pelukanku dan menatap wajahnya yang masih kebingungan.

Gomawo, Ryeong…” kataku dengan masih tersenyum. “Terima kasih sudah menemaniku dan menguatkanku selama ini.”

Perlahan raut wajah bingungnya memudar, berganti dengan senyuman yang tersungging manis di bibirnya. Ia mengangguk. “Ne, cheonmaneyo. Kajja, kita pulang,” ujarnya seraya menggandeng tanganku dan berjalan menuju mobilnya yang sedang terparkir.

Aku masuk ke dalam mobil hitamnya. Ryeowook menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya menjauhi tempat itu, tempat yang sangat sepi. Tempat sepi yang bernama makam. Tempat di mana aku bisa mengunjungi makamnya, makam yang bertuliskan namanya… Cho Kyuhyun.

-END-

 

 

This FF also published on my blogger and SJ FF ^^


Pinky Love

Pinky Love

 

By : Ifa Raneza

 

** ** **

 

“Lee Sungmin!!!” teriak Nara murka saat kedua bola matanya tertuju pada kamarnya yang sudah penuh dengan barang-barang serba pink, warna yang begitu dibencinya. Sementara yang diteriaki hanya memamerkan cengirnya.

Wae?” tanyanya tak berdosa.

Nara menggigit bibir bawahnya, menahan amarahnya yang kalau meledak sudah bisa dipastikan Lee Sungmin hanya tinggal nama saja.

“Apa-apaan ini?! Kau apakan kamarku!?” teriak Nara tak terima dengan keadaan kamarnya yang berubah menjadi dominan warna pink itu.

Kekesalan Nara bertambah saat ia mendengar Sungmin terkekeh, hingga akhirnya mencapai puncak, dan gadis itu sekarang ingin sekali mencekik leher putih di depannya itu kalau saja ia tidak mengingat sanksi yang akan diberikan pada tindakan kriminal itu.

“Bukankah bagus?”

“Bagus apanya?!” teriak Nara lagi. “Kau tahu kan aku benci warna pink?!”

“Tapi aku menyukainya.”

Nara mendengus kesal. “Kau menyukainya dan aku membencinya!” teriak Nara sebelum pada akhirnya ia membanting pintu kamarnya dan beranjak keluar rumah.

Ia harus menenangkan dirinya dulu sebelum kembali bertatap muka dengan namja aegyeo pecinta warna pink itu.

Tapi sebelum Nara sempat menyentuh gagang pintu, sebelah tangannya sudah dikunci oleh tangan besar Sungmin.

Mwo?! Apa lagi yang kauinginkan, Sungmin-ah?!!” teriak Nara.

“Aissh… Kau mau membuat gendang telingaku pecah, hah?!”

“Biar saja telingamu ini tuli!!” ujar Nara sambil menjewer sebelah telinga Sungmin hingga namja itu meringis kesakitan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ujar Sungmin sambil menggembungkan pipinya.

“Pertanyaan yang mana?” Nara balik bertanya.

“Yang tadi siang.. Kau mau tidak jadi pacarku?”

“Aaah.. yang itu.”

“Jadi apa jawabanmu?” tanya Sungmin antusias.

“Kau mau aku menjawab jujur atau tidak?” Nara berbalik bertanya dengan jahil.

“Yaak, kau sudah bosan hidup, hah?!” Kini giliran Sungmin menjewer telinga gadis itu. Tapi bedanya ia menjewer kedua telinga Nara sekaligus.

“Yaak.. Appeu!”

“Jadi apa jawabanmu?” tanya Sungmin lagi, kali ini dengan suara yang mulai serius.

“Bagaimana kalau jawabannya ‘tidak’?” tanya Nara.

“Aku akan menghujanimu dengan barang-barang serba pink lebih banyak lagi!” ujar Sungmin dengan tatapan horror yang ia lemparkan pada Nara.

Mwo? Itu pemaksaan namanya,” protes Nara sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Sungmin menghela nafasnya pelan, lalu ia memegang kedua pundak Nara dan menatap gadis itu lekat-lekat.

“Jadi kau.. benar-benar ingin menolakku?” tanya Sungmin pelan. Ia sudah bisa menebak gadis ini akan menolaknya mengingat Nara sangat membenci warna pink yang merupakan warna yang selalu Sungmin agung-agungkan dalam kehidupannya.

“Kapan aku bilang kalau aku menolakmu?” Lagi-lagi Nara berbalik bertanya.

Mwo?”

“Aku menerimamu, Lee Sungmin,” ucap Nara disertai dengan senyum manis di bibirnya. Manis sekali sehingga membuat Sungmin tidak tahan untuk tidak segera menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

“Aku kira kau akan menolakku,” gumam Sungmin dengan suaranya yang dibuat terdengar manja. “Nappeun yeoja,” ucap Sungmin sembari melepaskan pelukannya dan menyentil pelan hidung Nara.

“Aww..”

Kini kedua orang itu saling melemparkan senyum tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut kedua orang itu.

Namun beberapa detik kemudian.

“Jadi kau mau kukirimkan pink teddy bear lagi, Nara-ah?” tanya Sungmin jahil.

Sontak kedua bola mata Nara membulat lebar.

Mwo?!! Yaak… Lee Sungmin, kau mau kita putus sekarang, hah?!!” teriak Nara murka.

Mwo? Andwae!! Jangan lakukan itu! Kita baru saja resmi pacaran beberapa menit yang lalu!!” sahut Sungmin dengan volume yang menyamai volume suara Nara dengan raut wajah ketidakrelaannya.

Sedetik kemudian yang terdengar hanyalah tawa lepas keduanya.

Saranghae, Park Nara…”

END


Love or Obsession? (Part 4)

Title    : Love or Obsession? ­­­––– Part 4

Author: Ifa Raneza

Cast    :

-Yesung (Kim Jong Woon)

-Park Hye Mi (OC)

-Lee Sungmin

-Leeteuk (Park Jung Soo)

-Jung Na Rin (OC)

Warning : Typo (mungkin) bertebaran di mana-mana..

Genre : Romance, Friendship

 

** ** **

 

“Lepas…” ucap Narin dengan susah payah karena suaranya sendiri pun sulit untuk keluar.

Jongwoon tidak menghiraukan ucapan Narin, ia malah semakin membungkam mulut gadis itu dengan bibirnya.

“Kau harus akui, tidak ada yeoja yang bisa menepis pesonaku, termasuk dirimu,” bisiknya pelan dan dengan suara yang berat.

Narin bergidik ngeri. Rasanya sesak harus menerima perlakuan seperti ini dari seorang namja yang dulunya juga pernah menyakiti orang yang berarti dalam hidupnya. Kedua tangan Narin bergerak memukul-mukul dada bidang Jongwoon. Namun hal itu seperti sia-sia saja. Jongwoon masih tidak menghentikan aksinya. Ia semakin memojokkan Narin di tembok sementara ia menyibukkan dirinya dengan bibir Narin.

Jebal…” ucap Narin dengan susah payah.

Siapapun.. Ia sangat berharap akan ada orang yang menolongnya saat ini. Tanpa sadar air mata Narin jatuh dari pelupuk matanya. Bayangan wajah kakaknya dan Park Hye Mi terus berkelebat di pikirannya. Ia sangat menyayangi kedua orang itu dan ia tidak mau mereka disakiti oleh orang yang sama, Kim Jong Woon, namja yang saat ini tengah menyerangnya.

Entah apa yang terjadi, tak lama kemudian ciuman Jongwoon pada bibir Narin terlepas dan sedetik kemudian terdengar bunyi keras yang berasal dari pipi kanan Jongwoon.

PLAK!!

“Jangan ganggu temanku!!” teriak seorang yeoja dengan kilatan murka di kedua bola matanya. Ia menatap Jongwoon dengan tajam, membuat tubuh namja itu sedikit membeku sambil memegangi sebelah pipinya yang baru saja dipukul oleh tangan halus milik yeoja itu.

Hancur. Hanya itu yang bisa menggambarkan perasaan Jongwoon sekarang. Semuanya hancur. Rencananya untuk mempermainkan seorang Park Hye Mi telah hancur. Sosoknya di mata Hyemi telah hancur. Tapi yang membuat hatinya lebih hancur adalah.. fakta bahwa secara tak langsung ia sudah menyakiti Hyemi dengan perlakuannya pada sahabatnya, Jung Na Rin. Ya.. Jongwoon sudah menghancurkan segalanya. Entah apa penyebabnya, tapi namja dingin itu merasa jantungnya tak lagi berfungsi saat melihat air mata seorang Park Hye Mi jatuh.

“Kau jahat, Jongwoon-ah..” ucap Hyemi dengan suara bergetar karena menahan tangisnya, walau air matanya sudah jatuh terlebih dahulu.

** ** **

 

(Lee Sungmin POV)

 

Aku terdiam di tempatku saat pintu kamar itu terbuka lebar. Rasanya seperti oksigen di sekitarku lenyap seketika saat melihat wajah yeoja yang selalu mengisi ruang hatiku itu tidak seputih dulu. Kini wajahnya sangat pucat dan terlihat begitu tirus. Apa yang terjadi?

Annyeong..” sapaku. “Apa aku mengganggumu, Hyemi-ah?” tanyaku hati-hati.

Yeoja itu hanya menggeleng lemah, lalu menarik tanganku ke satu sudut ruangan setelah menutup pintu kamarnya. Ia menjatuhkan dirinya di atas sofa putih yang selalu menjadi tempat favoritnya saat ingin membicarakan sesuatu yang hanya boleh kami berdua tahu denganku.

“Ada apa?” tanyaku masih dengan nada hati-hati.

“Kau sudah tahu masalahnya, Sungmin-ah..” ucapnya dengan suara yang hampir menyamai volume suara berbisik.

Aku menghembuskan nafasku pelan. Apa rasanya sesakit itu, Hyemi-ah?

“Kecewa?” tanyaku sambil merapikan rambut panjangnya yang sedikit berantakan.

Ia mengangguk. “Tentu saja kecewa… Sangat…” ucapnya dengan suara yang mulai bergetar. Bisa kuprediksikan beberapa detik ke depan air matanya akan jatuh. “Mana mungkin orang itu bisa memperlakukan yeoja seperti itu.. dan yeoja itu.. sahabatku sendiri..” ucapnya lagi.

Dan dugaanku benar, air matanya kembali tumpah.

“Aku tidak tahu mulai sekarang aku harus mempercayainya atau tidak…” bisiknya dengan suara serak. Air matanya terus tumpah menuruni pipinya yang terlihat semakin kurus dari hari ke hari. Secepat air matanya jatuh, secepat itulah hatiku terasa teriris. Perih.. rasanya sakit melihat orang yang kau sayangi harus menangis untuk orang yang paling kau hindari keberadaannya.

Apa rasanya sangat kecewa, Hyemi-ah? Kau kecewa pada hyung-ku karena kesalahannya itu? Apa kau sudah mulai merasa jatuh ke dalam pesonanya hingga kau harus menumpahkan air matamu hanya untuk kekecewaanmu padanya? Hyemi.. katakan padaku.. kau tidak jatuh cinta padanya, kan?

** ** **

 

(Kim Jong Woon POV)

 

“Tuan, sebaiknya Anda segera istirahat,” ujar wanita paruh baya itu sambil berusaha meraih botol vodkaku. Dengan gerakan cepat, kusambar botol itu dan menuangkan isinya ke gelas kaca yang ada di tangan kananku. Lalu meneguknya hingga tak bersisa dalam sekali tegukan.

“Lebih baik kau pergi,” ucapku dingin dan datar. Pelayan itu langsung beranjak dari tempatnya berdiri dan meninggalkanku di ruangan ini.

Pandanganku sedikit berkunang saat ini. Bagaimana tidak? Ini sudah gelas keenam yang kuteguk malam ini. Tapi sebanyak apapun vodka yang kutelan, beban pikiranku masih terus menghimpit kepalaku. Rasanya pusing sekali. Tapi yang lebih menyiksaku adalah sebuah rasa di sini, di dalam dadaku. Rasanya perih saat melihat air mata yeoja itu jatuh. Ya.. yeoja itu.. Yeoja yang ingin kudapatkan hanya untuk kupermainkan. Namun kini? Aku tidak yakin apa aku masih bisa mempermainkannya. Aku ragu.. bahkan hanya untuk menyakitinya seperti yeoja-yeoja lain. Apa aku terkena karma dan pada akhirnya aku sendirilah yang membiarkan hatiku jatuh pada putri bungsu keluarga Park itu?

“Aaarghhh! Eotteoke??!!” teriakku frustasi sambil mengacak rambutku kasar.

Suaraku bergema di bar yang biasa menjadi tempatku untuk menjernihkan pikiran. Sepi. Kesan itu yang pertama kutangkap. Andai saja ayah dan ibuku tidak pergi ke acara perusahaan yang mengharuskan mereka pulang larut, mungkin sekarang mereka sedang memakiku karena mabuk-mabukan di tengah pikiran kalut. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku bingung. Aku bingung, apakah aku harus memberanikan diriku untuk tetap mendekat pada Park Hye Mi, atau malah menjauh karena hal buruk yang sudah kulakukan tempo hari.

Menjauh.. Ya, itu adalah hal yang paling benar untuk kulakukan setelah apa yang kulakukan tempo hari. Tapi pertanyaannya sekarang adalah… sanggupkah aku bernafas tanpa yeoja itu? Yeoja yang sudah menjadi kebutuhanku yang paling utama untuk tetap hidup dan akan menjadi racun jika aku sempat melupakan bayangannya walau hanya sedetik.

“Hyemi-ah… Can you tell me why I’m so interested with you…?” gumamku sambil memandangi gelas kaca berisi vodka yang isinya tinggal sepertiga di tanganku dengan mata yang setengah tertutup. Ya.. aku sudah mabuk sekarang. Tapi selebihnya bukan karena bergelas-gelas vodka yang kutenggak beberapa waktu yang lalu, tapi karena yeoja itu. Apa aku jatuh cinta padanya?

“Kau puas, Hyung?”

Aku melirik ke samping dan mendapati seorang namja tengah berdiri tegap beberapa langkah dari tempatku duduk. Entah karena kesadaranku yang semakin menurun atau apa.. aku seperti bisa melihat kemarahan yang terpancar jelas dari kedua matanya.

Don’t bother me now, Lee Sungmin..” gumamku yang terdengar seperti racauan seraya menghabiskan isi gelas yang ada di tanganku.

We need to talk, Hyung,” katanya tajam dengan rahang yang mengeras. Menandakan emosinya sudah berada di tingkat paling atas.

Aku memang melakukan kesalahan. Dan sekarang kesalahanku itu seperti membuat dampak yang sangat besar bagi orang-orang di sekitarku, termasuk sepupuku ini.

“Ada apa?”

“Kau masih  bertanya?” Ia membuang pandangannya ke botol vodka di atas meja, lalu kembali menatapku tajam. Walau mabuk, tapi aku bisa melihat dengan jelas kedua tangannya yang mengepal sempurna di samping tubuhnya. “Kau sudah menyakiti puluhan atau mungkin ratusan yeoja di luar sana. Tapi kenapa, Hyung? Kenapa kau juga lakukan hal yang sama pada Narin? Dengan kata lain kau juga menyakiti Hyemi sebagai sahabatnya..”

Lagi-lagi perasaan itu muncul saat mendengar nama Hyemi. Rasa perih yang tiba-tiba naik ke permukaan yang membuat dadaku menjadi begitu sesak hanya untuk sekedar melakukan proses pernafasan.

“Aku tidak peduli dengan sifatmu yang selalu mempermainkan wanita. Tapi kau harus sadar, Hyung.. Park Hye Mi adalah yeoja yang sama sekali tidak pantas untuk disakiti,” ujarnya dengan penekanan pada kalimat terakhirnya.

“Aku tahu… Karena itu..”

“Terlambat…” ucapnya memotong kalimatku.

Ia menarik kerah bajuku dan memaksaku untuk menatap kedua matanya yang seperti menyala.

“Kau sudah menyakitinya. Dan jangan harap aku akan dengan mudahnya membiarkanmu mendapatkan dirinya, Hyung. Jangan pernah bermimpi!” teriaknya tepat di depan wajahku.

“Sungmin-ah…” ucapku. “Bagaimana jika dia tidak mencintaimu?”

Mwo?”

Namja di depanku itu seolah membeku mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku.

“Bagaimana jika dia tidak mencintaimu dan aku mulai jatuh cinta padanya?” tanyaku lagi yang membuat kedua matanya membulat.

“Jangan harap aku akan percaya padamu, Hyung! Kau penipu! Jangan harap kau bisa mendekati Hyemi lagi!!” teriaknya sebelum kurasakan pukulan keras mengenai sebelah pipiku.

Aku tersungkur ke lantai dan tidak memiliki tenaga lagi untuk bangun. Aku terlalu lemah untuk itu. Terakhir kali kudengar derap langkahnya yang semakin menjauh dan menghilang setelah terdengar suara pintu yang ditutup sebelum kesadaranku semakin menipis. Yang ada di pikiranku hanya satu.. Park Hye Mi.

** ** **

 

(Park Hye Mi POV)

 

“Kau ini kenapa? Sudah tiga hari kau kehilangan nafsu makanmu. Ingat, Nona Park! Kalau kau sakit maka aku akan dibunuh oleh eomma dan appa,” seru Jungsoo-oppa sambil menatapku jengah.

Aku tidak memberi respon apapun. Aku hanya memandangi makanan yang tampak lezat di hadapanku tanpa nafsu sama sekali untuk segera melahapnya. Rasanya seperti duri yang menusuk dinding tenggorokanku saat makanan itu kutelan.

Jebal, Hyemi-ah… Jangan sampai kau sakit.. Aku mohon… makan, ya? Atau kau mau aku suapi?” tanya Jungsoo-oppa sambil menangkupkan kedua tangannya dan menatapku dengan tatapan memohon yang paling memelas. Kemudian ia mengambil alih makanan yang sudah tersaji di depanku dan bersiap untuk menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutku yang masih terkatup rapat. Dan di detik-detik berikutnya tangan kanannya hanya terangkat ke udara dengan sendok berisi makanan sementara bibirku terus terkatup rapat.

“Yaak! Park Hye Mi!!! Umurmu masih 20 tahun, dan kau ingin mempercepat hari kematianmu, hah?!!” teriak Jungsoo-oppa murka seraya meletakkan kembali piring berisi makanan yang menjadi sarapanku itu ke atas meja makan. Di detik berikutnya yang kulihat adalah kakak tersayangku itu mengacak rambutnya kasar dengan raut wajah frustasi.

Aku menghela nafas pelan, lalu bangkit dari kursi sambil meraih tas selempangku.

“Aku benar-benar tidak nafsu makan, Oppa. Lebih baik aku berangkat sekarang. Dan Oppa.. Kau sarapanlah sendirian. Maaf tidak bisa menemanimu sarapan. Jangan sampai kakakku yang tampan ini sakit, arra?” ujarku seraya memberinya kecupan kilat di dahinya.

Ia hanya melongo setelah mendengar ucapanku barusan.

“Bagaimana bisa kau berkata seperti itu padaku sedangkan kau sendiri tidak menyentuh makananmu, PARK HYE MI!!!”

Suara lengkingan itu terdengar begitu jelas, bahkan sedikit bergema saat aku membuka pintu depan rumah.

Niat untuk menghirup udara pagi yang menyejukkan langsung hilang saat kudapati seorang namja berdiri tegap di depan pintu. Ia menundukkan kepalanya dan menatapku teduh. Entah sejak kapan aku mulai menyukai tatapannya. Tapi aku mulai menyukai tatapan itu di saat aku semakin membencinya. Aneh? Jangan salahkan aku, tapi salahkan perasaanku ini.

“Ada apa lagi?” tanyaku ketus.

Namja itu berusaha menarik seulas senyum di bibirnya. Tapi tetap saja senyum itu sangat jauh berbeda dengan senyum yang biasa ia perlihatkan padaku. Sepertinya ia merasa.. bersalah mungkin?

Mian..” ucapnya yang hampir menyamai suara bisikan.

Hey, sejak kapan namja playboy ini merasa bersalah atas apa yang sudah ia lakukan? Apa ini salah satu dari siasatnya?

“Haruskah aku mempercayaimu sekarang, Jongwoon-ah?” tanyaku tanpa mengubah tatapan dan nada bicaraku.

Ia menganggukkan kepalanya perlahan, lalu bibirnya tergerak mengatakan sesuatu. “Aku tahu aku tidak pantas untuk mendapatkan kepercayaanmu sekarang. Tapi…” Ia menggantungkan kalimatnya. Lalu kembali melanjutkan ucapannya setelah menghirup oksigen lebih banyak. “Apa kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku tidak pantas kudapatkan?” tanyanya dengan suara yang semakin mengecil pada akhir kalimatnya. Ragu.

Aku mengendikkan bahuku enteng.

“Entahlah tapi..” Kutatap matanya sekilas, lalu berjalan melewatinya. “Kurasa kesalahanku adalah telah mempercayai semua kata-katamu.”

Ia tidak merespon ucapanku atau menahan gerakanku seperti biasanya. Sepertinya otaknya sudah mulai bisa bekerja dengan baik sekarang.

** ** **

 

(Kim Jong Woon POV)

 

“Entahlah tapi…” Ia menggantungkan ucapannya, membuatku semakin penasaran akan kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari bibirnya. Ia menatapku sekilas, lalu berjalan melewatiku. Aku tidak bisa menahannya seperti biasa. Entahlah.. mungkin karena aku takut akan menyakitinya untuk kedua kalinya. Ia seperti kristal rapuh bagiku. “Kurasa kesalahanku adalah telah mempercayai kata-katamu,” lanjutnya tanpa menoleh ke arahku. Ia berjalan menuju mobil, lalu menghilang di balik pintu mobil yang ia tutup.

Sedangkan aku? Aku hanya bisa berdiri mematung di tempatku. “Kesalahanku adalah telah mempercayai kata-katamu. Aku tahu aku memang salah. Aku memang bukan tipe namja yang baik. Aku bahkan tidak pantas untuk mendapatkan kepercayaannya lagi. Tapi kenapa… dada ini rasanya sakit mendengar kalimat itu keluar dari bibirnya?

“Apa yang harus kulakukan?” gumamku pasrah sambil menengadahkan kepalaku. Kepalaku sakit memikirkan masalah yang seperti tak berujung ini. Tapi hatiku lebih sakit, entah karena apa.

Park Hye Mi… beritahu aku, perasaan apa ini?

** ** **

 

(Author POV)

 

Seminggu. Itu waktu yang Jongwoon lewatkan dengan memikirkan kesalahan yang sudah ia perbuat hingga menyakiti seorang yeoja yang selama beberapa hari terakhir membuatnya hampir gila. Selama itu pula ia tidak berani menghubungi Hyemi semenjak pertemuan mereka di depan rumah keluarga Park.

“Kesalahanku adalah telah mempercayai kata-katamu.

Jongwoon bahkan sudah hapal di luar kepala kata-kata gadis itu. Kini mustahil Jongwoon bisa mendapatkan kepercayaan gadis itu. Memang.. ia memang pantas menerima ini semua. Tapi ia tidak sampai memikirkan dampak yang begitu besar yang terjadi pada dirinya. Seperti ada lubang besar di hatinya. Ia bahkan sering melamun dan tidak memerhatikan penampilannya lagi. Hari-harinya selalu ia habiskan dengan mengurung diri di kamar dan melamun, memikirkan yeoja yang sama, Park Hye Mi.

“Tidak bisa… aku harus bicara dengannya lagi..” gumam Jongwoon seraya bangkit dari tempat tidurnya dan meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja nakas di samping tempat tidurnya.

Sejenak ia ragu untuk menekan tombol hijau di ponselnya saat membuka kontak dengan nama Hyemi yang tertera di sana. Tapi setelah menghembuskan nafasnya dan meyakinkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah ini, akhirnya ia menekan tombol hijau itu juga.

KLIK…

Belum sempat orang di seberang sambungan bersuara, Jongwoon sudah menyerbunya dengan kata-katanya.

Yeoboseyo? Hyemi-ah?” katanya langsung. Tanpa menunggu sahutan dari orang yang menjadi lawan bicaranya, ia kembali mengucapkan kalimatnya.

“Aku hanya ingin bilang.. mianhae…” ucapnya penuh penyesalan. Ia harap gadis itu bisa merasakan rasa bersalahnya. “Aku memang tidak pantas menerima kata maafmu dan kepercayaanmu lagi. Tapi… bisakah kau memberiku kesempatan sekali lagi?”

“Hyemi-ah.. aku memang bukan namja yang baik. Aku sudah berpuluh-puluh kali menyakiti banyak wanita. Tapi…” Jongwoon menghembuskan nafasnya dan kembali melanjutkan ucapannya. “Tapi saat aku menyakitimu, hatiku seperti ditusuk tombak. Rasanya sakit sekali.. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu..”

“Hyemi-ah.. Kau yeoja yang menyadarkanku bahwa wanita adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini… Dan aku… aku rasa aku mulai menyukaimu…”

Jongwoon berhenti berkata-kata dan bersiap mendengarkan kalimat yang akan keluar dari mulut lawan bicaranya di seberang sambungan sana. Entah itu kalimat makian, penolakan, atau apapun yang lebih parah.. ia siap mendengarkannya. Asalkan yeoja itu bersedia memberinya kesempatan sekali lagi.

Satu detik… dua detik… tiga detik…

Nihil. Tidak ada satu kalimat pun yang gendang telinga namja itu tangkap. Apa gadis itu masih tidak bisa mempercayainya, batinnya.

“Ngg… Hyemi-ah… Aku memang bukan namja baik dan aku selalu menyakiti banyak yeoja. Tapi…” Jongwoon menggantungkan kalimatnya sementara ia sedang mengisi paru-parunya yang tiba-tiba terasa hampa dengan oksigen. “Tapi kali ini aku jamin.. aku tidak berbohong padamu.”

“Jongwoon-ah..”

Jongwoon menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar panggilan itu. Ia sudah hafal betul dengan suara ini. Dan ini…

Hyung?” kata Jongwoon setengah tak percaya.

“Yaak.. Jongwoon-ah… Seharusnya kau menyatakannya langsung pada adikku, bukan lewat telepon seperti ini,” ucap orang di seberang sambungan sambil terkekeh pada akhir kalimatnya.

“Yaak.. Hyung, jadi dari tadi kau…?”

Ne, aku mendengar semuanya,” jawab Jungsoo tanpa menghentikan kekehannya.

Jongwoon mengerang sambil mengacak rambutnya kasar. “Kenapa tidak bilang dari tadi, hah?” tanyanya dengan nada yang sedikit naik. Ia kesal sekarang.

“Kau sendiri yang tidak memberiku kesempatan untuk berbicara,” ujar Jungsoo membela diri. “Hyemi sedang tidur. Kau mau bicara padanya?” tanya Jungsoo.

Mwo?” Jongwoon melirik jam yang tergantung di dinding kamarnya heran. “Ini baru jam tujuh, Hyung…” gumamnya.

Ne, dia demam.”

Mwo?! Demam?”

Kali ini Jungsoo benar-benar harus menjauhkan ponsel milik dongsaeng-nya itu dari telinganya jika ia belum ingin tuli di usianya yang masih muda ini.

“Bisa tidak volume suaramu tidak sekeras itu?”

“Yaak… Hyung, jangan mengalihkan pembicaraan. Hyemi sakit?”

Ne, dia sakit..” ujar Jungsoo. Ia menghela nafasnya pelan seraya melemparkan tatapan pada dongsaeng­-nya yang sedang terlelap di kasur empuknya. “Itu karena beberapa hari ini dia tidak mau makan,” ujarnya lagi yang membuat Jongwoon kembali membulatkan kedua matanya.

Jeo..Jeongmalyo?” tanya Jongwoon tak percaya. Yeoja sekurus itu tidak makan dalam beberapa hari terakhir? Apa sekarang tubuhnya sudah tinggal tulang dan kulit?

“Katanya dia tidak nafsu makan.” Sekali lagi Jungsoo menghela nafasnya frustasi. “Bisa-bisa eomma dan appa segera mengirimku ke neraka setelah ini,” gumamnya. Ia sedang membayangkan bagaimana raut wajah murka Tuan dan Nyonya Park yang siap menyambutnya nanti.

Hyung…”

Ne?”

“Katakan padanya… semoga dia cepat sembuh. Annyeong.”

KLIK.

Jongwoon mengakhiri obrolan jarak jauh itu dan meletakkan ponselnya kembali di atas meja nakas. Mungkin benar seorang Kim Jong Woon sedang terkena karma sekarang. Dan kini ia baru menyadari bahwa hal yang paling sulit ia percayai adalah dirinya telah jatuh ke dalam pesona seorang yeoja yang ingin ia taklukkan.

** ** **

 

“Hey–– Sial, baru saja aku ingin bertanya apa dia serius dengan ucapannya,” gumam Jungsoo, menggerutui ponsel adiknya yang kini layarnya sudah menggelap sementara pemiliknya tengah terlelap dengan suhu badannya yang meningkat akibat aksi mogok makannya. Lihat saja, wajahnya sudah pucat dan kurus.

Jungsoo meletakkan ponsel di tangannya ke meja nakas di samping tempat tidur Hyemi dan duduk di tepi ranjang adiknya itu. Lama ia memerhatikan wajah adiknya, sampai akhirnya kedua alis namja itu bertaut.

“Ada sesuatu yang tidak beres di sini…” gumamnya serius.

Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar, menutup pintunya perlahan, berharap ia tidak akan mengganggu tidur adiknya yang lelap itu. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya sendiri dari sana. Setelah menekan beberapa angka, pria berlesung pipi itu menempelkan benda elektronik itu ke telinga kirinya.

“Aku ada tugas untukmu. Selidiki pria bernama Kim Jong Woon, kehidupannya yang sekarang maupun kehidupan masa lalunya.”

Yah.. ada yang sedikit terlupakan di sini. Seorang Park Jung Soo juga memiliki kuasa besar di sini. Dia bisa mendapatkan apapun yang ia mau hanya dengan sekali jentikkan jari.

He’s a part of Park family. Don’t forget about this fact..

** ** **

 

(Park Hye Mi POV)

 

Hari ini aku bertemu lagi dengannya setelah beberapa hari yang lalu kami tidak bertemu sapa meskipun otakku dipenuhi dengan wajahnya yang seringkali membuatku muak. Kali ini tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia tampak sedikit dewasa dan tidak menunjukkan sifat cassanova-nya yang sudah berada di taraf teratas. Dan entah kenapa hari ini rasanya aku ingin sekali memukul kepalaku dengan tongkat baseball Jungsoo-oppa untuk menyadarkanku dari beberapa pikiran-pikiran aneh tentang namja di depanku ini. Matanya. Entah kenapa matanya seperti menyihirku untuk tetap menatap matanya meskipun aku sendiri sudah muak untuk melakukan hal kecil itu.

Are you okay?” tanya lembut dengan nada khawatir yang terdengar dari suara beratnya.

Aku mengangguk pelan, merasa sedikit aneh dengan kecanggungan yang kurasa saat ini. “Seperti yang kau lihat. Aku sudah sembuh. Terima kasih sudah menanyakannya.”

Tepat setelah aku menyelesaikan ucapanku, namja itu menarik sudut bibirnya ke atas. Hey.. ada apa ini? Aku bersikap manis padanya dan pipiku hampir saja merona merah karena melihat senyumnya yang biasa ia perlihatkan padaku. Okay.. Sepertinya ada yang salah padaku sekarang.

“Soal yang …”

“Aku sudah memaafkanmu,” potongku cepat.

Entahlah. Rasanya aku ingin sekali cepat-cepat menyelesaikan masalah ini. Terlebih lagi setelah mendengar Narin yang tiba-tiba pergi ke desa tempat tinggal neneknya dengan alasan ingin menenangkan diri karena masalahnya dengan Jongwoon kemarin.

“Aku sudah mencoba menghubungi Narin. Tapi tetap tidak bisa,” ucapnya lagi dengan nada bersalah yang begitu menyakitkan ketika kedua telingaku mendengarnya.

Aku mengangguk. Mungkin Narin masih sulit untuk memaafkan kesalahan namja aneh ini.

“Dia ingin menenangkan diri,” kataku mencoba menenangkan degup jantung namja di depanku ini yang masih memburu.

Dia hanya mengangguk pelan, namun raut wajahnya masih seperti tadi. Penuh rasa bersalah.

“Ada yang ingin kusampaikan…” ujarnya setelah beberapa detik menundukkan kepalanya.

“Apa?”

“Aku…”

CKLEK…

“Aku pulang! Ah, Jongwoon-ah… Kau di sini?”

Suara Jungsoo-oppa sontak membuat kami menoleh ke arahnya yang baru saja masuk dan sedang berjalan ke arah kami. Otomatis ucapan Jongwoon yang belum sempat ia selesaikan menjadi terpotong.

Ne, Hyung. Kau dari mana?” tanya Jongwoon.

Ini pertama kalinya aku melihatnya bersikap semanis ini.

“Aku ada urusan tadi,” jawab Jungsoo-oppa yang kemudian melirikku. “Maaf, aku mengganggu obrolan kalian tadi. Lanjutkan saja.”

Ia berjalan ke arah tangga menuju lantai atas. Tapi.. sepertinya ada yang aneh. Aku seperti melihat kakakku itu menoleh ke belakang, menatap Jongwoon dengan tatapannya yang datar namun tajam. Apa ini hanya perasaanku saja?

** ** **

 

(Author POV)

 

Jungsoo duduk di sofa yang berada di sudut ruang keluarga, tempat yang akan selalu menjadi tempat favoritnya di rumahnya yang luas ini. Sebelah tangannya ia lipat di depan dada dan sebelahnya lagi menopang dagunya. Raut wajahnya datar, sementara kedua matanya menatap meja kaca di depannya lurus-lurus. Ia sedang berpikir bagaimana cara untuk menjaga salah satu yeoja terpenting di dalam kehidupannya, adiknya sendiri. Kembali lagi pikirannya merekam apa yang sudah ia dengar dari mulut orang suruhannya yang ia tugaskan untuk menyelidiki kehidupan Kim Jong Woon di masa lalu.

Awalnya ia berpikir kata maaf akan lebih baik jika terucap dari mulut Hyemi pada Jongwoon yang akan mengakibatkan masalah mereka selesai. Namun kini Jungsoo mulai berpikir ulang tentang hasil pemikirannya itu. Ia seakan menyesali adiknya itu sudah memaafkan kesalahan Jongwoon. Apa dengan keluarnya kata maaf itu, mereka akan lebih dekat? Yah.. bisa jadi. Apapun bisa terjadi di kehidupannya yang sulit ini.

Perkataan orang suruhannya tentang kehidupan Jongwoon di masa lalu sukses membuatnya membulatkan kedua matanya dan tercengang. Dan yang terbesit dalam pikirannya saat itu adalah bagaimana cara agar Jongwoon tidak masuk lebih dalam ke kehidupan Hyemi. Seperti pernyataan Jongwoon pada Hyemi yang ia dengar lewat ponsel adiknya itu secara tak sengaja tadi malam, Jungsoo bisa memperkirakan bahwa Hyemi bisa saja tergelincir jatuh ke pelukan Kim Jong Woon. Dan Jungsoo tidak mau hal itu sampai terjadi.

Tidak akan.. Apapun akan Jungsoo lakukan untuk menjaga adiknya dari namja bermarga Kim itu.

Kemudian sudut bibir Jungsoo tiba-tiba tertarik ke atas secara perlahan. Sepertinya ia sudah bisa memutuskan cara apa yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan panggil dia dengan marga Park di depan namanya jika seorang Park Jung Soo tidak memiliki seribu cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

** ** **

 

Hyung…”

Jungsoo menoleh ke arah pintu berwarna cokelat tua itu dan mengembangkan senyumnya saat mendapati sosok Sungmin yang baru saja menutup pintu tinggi itu.

“Ada hal penting yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Sungmin seraya melangkahkan kakinya ke arah Jungsoo dan duduk di sofa yang berada di seberang tempat Jungsoo duduk.

Well… Ini lebih penting dari makna kata penting yang biasa kau dengar,” ujar Jungsoo.

Sungmin menaikkan sebelah alisnya sebentar, lalu kembali bertanya. “What’s that?”

“Satu hal.. I trust you,” ucap Jungsoo sebelum ia menarik sudut bibirnya, bukan untuk mengukir senyuman termanisnya melainkan seringainya yang baru pertama kali Sungmin lihat dan terlihat begitu menyeramkan di wajah Jungsoo. “Protect my sister, and…” Jungsoo menghembuskan nafasnya perlahan, sementara Sungmin hampir menahan nafasnya. Sekali lagi Sungmin tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat saat ini––wajah Park Jung Soo yang begitu berbeda dengan seringai yang menghiasi wajahnya. “… I’ll give her for you.”

This is the best way to protect his sister and kick out Kim Jong Woon from his sister’s life.

 

 

TO BE CONTINUED…

 

Uhmm… Let me see your opinion about this story in my comment box ( .__.)


Love or Obsession? (Part 3)

Title   : Love or Obsession? ––– Part 3

 

Author: Ifa Raneza

 

Cast   :

-Yesung (Kim Jong Woon)

-Park Hye Mi (OC)

-Lee Sung Min

-Jung Na Rin (OC)

-Leeteuk (Park Jung Soo)

 

Genre : Romance, Friendship

 

 

** ** **

 

 

“Indah, bukan?” tanya Jongwoon membuyarkan lamunan Hyemi.

Tatapan gadis itu beralih dari pasir putih tempatnya berpijak ke wajah Jongwoon. Lagi-lagi namja itu menunjukkan senyum manisnya yang mampu meluluhkan hati yeoja manapun, tapi sepertinya tidak dengan Hyemi yang sudah mengetahui sifat tersembunyi Jongwoon.

Hyemi tetap menatap Jongwoon datar.

“Kau tidak suka pantai ini?” tanya Jongwoon lagi tanpa menghapus senyumannya sedikitpun.

“Aku suka, tapi aku tidak menyukaimu,” jawab Hyemi tanpa menyembunyikan nada tajam yang terdengar dari suaranya.

Jongwoon terkekeh pelan. Ia mengalihkan pandangannya ke laut biru yang ada di depannya seraya menjatuhkan dirinya di pantai putih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya di belakang tubuhnya, menghembuskan nafas perlahan dengan kedua mata yang terpejam.

“Saat kecil aku dan Sungmin pasti akan pergi ke pantai ini setiap hari minggu bersama orang tua kami,” ujarnya setengah menerawang tanpa mengalihkan tatapannya dari laut. “Tapi sepertinya sekarang tidak akan lagi bisa seperti dulu. Sekarang bukan orang tuaku atau Sungmin yang menemaniku ke pantai ini, tapi kau,” lanjutnya seraya melemparkan tatapan pada Hyemi yang masih berdiri tak jauh darinya.

Hyemi membulatkan kedua matanya lebar.

Mwo? Aku??” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Jongwoon semakin melebarkan senyumannya. Kemudian ia beranjak dan menghampiri Hyemi.

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau membawaku kemari?” tanya Hyemi masih dengan suara dan nada bicaranya yang sama seperti yang biasa ia keluarkan untuk Jongwoon.

“Hanya untuk menemaniku. Apa itu salah?” jawab Jongwoon sekaligus melemparkan pertanyaan pada Hyemi.

Hyemi mengendikkan bahunya. “Kau punya pacar, Jongwoon-ah. Dan yang kutahu pacarmu ada dua sekarang,” ujarnya seraya membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya di atas pasir putih yang sedikit basah tanpa alas kaki.

Jongwoon mengikuti langkah gadis itu dari belakang dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku celana.

“Aku sudah memutuskan mereka, asal kau tahu,” ujarnya yang tidak mendapat respon dari Hyemi sesuai dengan harapannya.

Hyemi menyeringai. “Apa itu penting untukku?” tanyanya tanpa menghentikan langkahnya atau hanya sekedar membalikkan tubuh agar mereka berhadapan.

“Kalau aku mengatakan sesuatu padamu, apa kau akan percaya kata-kataku?” tanya Jongwoon.

“Tergantung..” jawab Hyemi masih terus melangkahkan kakinya.

Jongwoon menghentikan langkahnya, lalu berkata, “I love you..”

Hyemi menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Saat itulah Jongwoon baru menyadari bahwa kata-katanya barusan tidak membuat Hyemi luluh atau jatuh ke dalam pesonanya.

“Aku tahu kau akan mengatakan itu,” ujar Hyemi sambil tersenyum meremehkan, lalu kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan Jongwoon yang masih terdiam di tempatnya.

Well, Kim Jong Woon.. Ternyata ini tidak semudah yang kau kira, bukan?

Jongwoon menggeleng pelan, lalu bergumam, “Ini akan sangat sulit jika aku hanya berdiam diri…” Kemudian ia mulai berlari-lari kecil, berusaha menyusul Hyemi yang sudah berada jauh di depannya tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah sampai di belakang gadis itu, ia langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hyemi erat.

“Yaak! Apa yang kau lakukan?!” jerit Hyemi kaget saat merasakan pinggangnya sudah terkunci dengan kedua tangan Jongwoon.

Jongwoon terkekeh. Hyemi bisa mendengar dengan jelas kekehan namja itu dan hembusan nafasnya yang menyapu pelan telinga kanannya. Namja itu meletakkan kepalanya di pundak kanan Hyemi, dan tidak mengizinkan gadis itu untuk melepaskan diri.

“Kau sudah bosan hidup, hah?! Lepaskan aku!!” jerit Hyemi lagi, kali ini dengan suara yang lebih besar, membuat Jongwoon harus segera memeriksakan telinganya ke dokter THT. “Yaak, Kim Jong Woon!! Lepas–– Aaaa!!” Hyemi menendang kedua kakinya di udara saat Jongwoon mengangkat tubuh kecilnya hingga kedua kakinya tak menapak lagi di atas pasir putih.

“Turunkan aku!!” jerit Hyemi dengan nada yang terdengar sedikit memohon.

“Kau minta kulepaskan atau kuturunkan? Yang mana yang harus kulakukan sekarang?” tanya Jongwoon jahil tanpa menghentikan kekehannya.

Hyemi merengut. “Kau menyebalkan!” serunya yang membuat tawa Jongwoon meledak.

“Ini saatnya kita bersenang-senang, Nona Park!” ujarnya seraya membawa tubuh kecil Hyemi yang masih diangkatnya ke air laut dan menghempasnya pelan.

Sekarang celana jeans Hyemi sudah basah hingga bagian lutut, membuat gadis itu langsung mendelik Jongwoon dengan tatapan mematikannya. Tidak ada seorang pun yang berani merusak celana kesayangannya, dan sekarang Kim Jong Woon sudah berhasil membuatnya basah karena air laut.

“KIM JONG WOON!!!” jerit Hyemi murka.

Ia berlari ke arah Jongwoon yang juga sudah membenamkan kedua kakinya ke dalam air laut. Tanpa menghentikan tawanya, Jongwoon berlari menghindari Hyemi yang siap mendaratkan kepalan tangannya ke atas kepala besar(?) Jongwoon.

“Hei, kau tahu rasa air laut?” tanya Jongwoon jahil.

Lalu ia melemparkan air laut yang diambilnya dengan kedua telapak tangannya ke arah Hyemi. Hyemi menghapus air laut yang membasahi sebagian wajahnya. Well, seorangKim Jong Woon sudah bosan hidup ternyata.

“Tanpa kau beri tahu pun aku sudah tahu! Rasanya asin!!” teriak Hyemi sambil membalas ulah Jongwoon dengan perlakuan yang sama.

Akhirnya mereka bermain air laut dengan sesekali tertawa atau berseru kesal saat air laut itu terjamah oleh indera pengecap mereka.

“Yaak… yaak… Aku menyerah!” ujar Jongwoon sambil melindungi wajahnya dari siraman air laut dari Hyemi.

“Aku tidak akan berhenti!” sahut Hyemi sambil terus menyiramkan air luat ke arah Jongwoon dengan kedua tangannya.

Jebal, hentikan! Aku menyerah!”

Hyemi menghampiri Jongwoon dan memukul kepalanya dengan sekali pukulan, melampiaskan kekesalan awalnya dan berkata, “Baiklah, aku hentikan.”

Jongwoon menarik sudut bibirnya ke satu arah, membentuk seringai yang selalu ia perlihatkan.

“Kena kau!” serunya sambil kembali melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Hyemi dengan erat, lalu mengangkatnya ke tepi pantai.

“Yaak… Dasar licik!”

Lagi-lagi Jongwoon terkekeh mendengar ucapan Hyemi, sementara Hyemi semakin dongkol dengan sikap namja setengah gila ini. “Lepaskan!” Hyemi memberontak di dalam gendongan Jongwoon, membuat namja itu sedikit kewalahan untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya.

“Jangan bergerak atau kita akan ja…” Belum sempat Jongwoon menyelesaikan perkataannya, ia sudah kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terjatuh ke atas pasir putih dengan Hyemi yang berada di atas tubuhnya.

“Sudah kubilang jangan bergerak,” gumam Jongwoon.

Tapi sesaat kemudian mereka larut dalam keheningan, hanya mata mereka yang berbicara. Entah mengapa saat itu Jongwoon baru menyadari ada sesuatu yang berbeda di dalam mata Hyemi. Sesuatu yang membuatnya semakin menginginkan gadis ini lebih dari apapun, seolah-olah Park Hye Mi adalah sesuatu yang membuatnya menjadi orang paling beruntung di dunia.

** ** **

 

(Kim Jong Woon POV)

 

Aku terus memusatkan tatapanku di kedua bola matanya, tepat di retinanya yang juga tertuju pada kedua mataku. Tidak ada yang terucap dari bibir kami, hanya mata kami yang terus saling menatap. Ia mulai mengangkat tubuhnya dari tubuhku dan melepaskan tangannya yang bertumpu di dadaku. Tapi dengan cepat aku menahan tangannya agar tetap bertumpu di dadaku. Ia tersentak dan menatapku bingung. Aku benar-benar menginginkan gadis ini.

Segera kuraih belakang kepalanya dengan tangan kananku sebelum ia berhasil menghindar. Kuraih cepat bibirnya dengan bibirku, mengecupnya dalam, menuangkan keinginanku akan dirinya dalam ciuman kami.

Ia tersentak dan berusaha lepas dariku. Tapi tenaganya kalah dari tenagaku, aku terus memeluknya erat dan mempertahankan agar tautan bibir kami tidak terlepas. Park Hye Mi, asal kau tahu. Aku tidak pernah melepaskan apa yang kuinginkan.

“Lep… lepas..” ucapnya di sela ciuman dengan sedikit desahan karena bibirnya masih terkunci oleh bibirku.

Bertolak belakang dengan permintaannya, aku terus menempelkan bibirku pada bibirnya, bahkan memperdalam ciumanku. Aku tidak akan melepaskan sesuatu yang sangat kuinginkan, Hyemi-ah. Jangan menyia-nyiakan tenagamu untuk lepas dariku.

Perlahan perasaanku untuk memilikinya semakin menguat. Lidahku mulai mencoba membuka mulutnya, tapi ia menutupnya dengan rapat. Sekuat apapun aku berusaha, ia tetap menutupnya, tidak mengizinkanku untuk lolos. Apa ini jawaban untuk apa yang sudah kunyatakan padanya?

Ia mendorong dadaku kuat dan membuat tautan bibir kami terlepas. Ia bangun dari tubuhku dengan nafas yang tersengal. Aku tidak sadar kami hampir kehabisan nafas tadi.

Pabo!” ujarnya sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Ia berbalik dan hendak meninggalkanku yang masih terduduk di atas pasir pantai. Tapi sebelum ia melangkah menjauh, ia kembali berbalik. Ia mendekatiku dan mendaratkan pukulannya di atas kepalaku.

“Aaww!”

“Itu balasan untuk orang yang sudah mencuri ciumanku!” ujarnya seraya berbalik dan melangkah menjauh dengan menghentak-hentakkan kakinya.

Aku masih terdiam dalam posisiku. Park Hye Mi… Aku sudah tidak sabar untuk membuatnya jatuh ke dalam pelukanku.

** ** **

 

 

(Author POV)

 

Mwo? Hyemi pergi?” tanya Narin tak percaya saat Jungsoo baru saja berkata bahwa Hyemi sedang tidak berada di rumah karena diseret pergi oleh Kim Jong Woon. Dan tentu saja Narin semakin tak habis pikir saat tahu Jungsoo mengizinkan adik kesayangannya itu pergi bersama orang paling berbahaya bagi Narin.

“Mereka pergi ke mana, Oppa?” tanya Narin sedikit segan pada Jungsoo yang masih menatapnya ringan.

Jungsoo mengendikkan kedua bahunya. “Molla,” jawabnya singkat.

Narin semakin mengerutkan dahinya, tak habis pikir dengan sikap cuek Jungsoo terhadap adiknya sendiri yang kini sedang bersama Si Penjahat Cinta(?). ‘Apa dia tidak takut terjadi apa-apa pada Hyemi?’ pikir Narin bingung.

“Kurasa Kim Jong Woon cukup bisa diandalkan. Dia tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh,” ujar Jungsoo sambil mengibaskan sebelah tangannya, seolah masalah Hyemi dan Jongwoon bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan.

Narin tersenyum kecut. ‘Kau belum mengenalnya dengan baik, Oppa.’ Ya, sampai detik ini hanya Narin yang mengenal Jongwoon dengan baik. Hanya dia yang tahu seberbahaya apa seorang Kim Jong Woon. Dialah satu-satunya orang yang memegang kisah masa lalu kelam seorang Kim Jong Woon.

“Kapan Hyemi akan pulang?” tanya Narin setelah beberapa detik tenggelam dalam lamunannya sendiri.

Lagi-lagi Jungsoo mengendikkan kedua bahunya.

“Kau membiarkan Kim Jong Woon membawa Hyemi pergi tanpa tahu mereka akan pulang jam berapa?” tanya Narin semakin membulatkan kedua matanya.

Kali ini giliran Jungsoo yang menautkan kedua alisnya, bingung dengan sikap Narin yang menunjukkan seolah-olah Kim Jong Woon adalah orang paling berbahaya di dunia ini. Tapi, itu benar. Itulah kenyataannya. Kim Jong Woon bukanlah orang yang bisa dikenal sisi lainnya semudah itu.

“Hey… Hey… Hyemi akan baik-baik saja,” ujar Jungsoo.

Narin menghembuskan nafasnya pelan, lalu ia membungkukkan badannya dalam dan pamit pulang dengan masih menyimpan rasa khawatir pada sahabatnya yang masih bersama Jongwoon.

“Aneh sekali,” gumam Jungsoo.

** ** **

 

(Jung Na Rin POV)

 

Aku menginjak gas mobilku dalam-dalam, membuat mobilku berjalan membelah jalan raya dengan kecepatan seperti orang kesetanan. Aku tidak habis pikir Jungsoo-oppa akan membiarkan adiknya bersama seorang namja yang paling berbahaya tanpa membatasi waktu. Apa dia tidak takut terjadi apa-apa pada Hyemi? Kekhawatiranku itu terus berulang-ulang di pikiranku, membuatku tidak bisa berkonsenterasi untuk menyetir.

CKIITT!!

Tanpa sadar, aku menginjak rem secara tiba-tiba. Nafasku sedikit tersengal, seperti baru saja lolos dari lingkaran maut yang jika terlambat sedetik saja, maka nyawaku akan hilang. Kulihat beberapa pengendara berteriak marah padaku yang mengerem mobilku secara tiba-tiba.

“Kau mau mati, hah?!!!” teriak seorang ahjussi yang mengendarai mobil silver di sebelah mobilku.

Mi..mianhaeyo, Ahjussi. Mianhae…” kataku meminta maaf pada pengendara-pengendara yang berteriak kesal sekaligus marah padaku.

Aku memijat pelipisku, mencoba mengurangi rasa pusing yang perlahan-lahan masuk ke kepalaku. Ya Tuhan… Aku mohon, jangan biarkan Hyemi menjadi milik Kim Jong Woon… Dia sahabatku, dan aku tidak mau Kim Jong Woon mempermainkannya. Aku takut.. Aku takut hal yang paling kutakutkan itu akan terjadi pada Park Hye Mi.

Omona..” gumamku kemudian saat baru menyadari apa yang kupikirkan saat ini.

Tidak… Hal itu tidak akan terjadi Park Hye Mi. Ya.. Hal itu, masa laluku itu, tidak mungkin akan terjadi pada Park Hye Mi. Hyemi tidak mungkin akan luluh pada Jongwoon. Ya, benar. Lalu, apa yang kau takutkan, Jung Na Rin? Dasar bodoh…

Beberapa detik setelah pikiranku mulai jernih, aku kembali menjalankan mobilku ke sebuah bukit yang sedikit jauh dari pusat kota. Suasananya masih seperti terakhir kali aku ke sini. Masih sepi. Dan hanya tempat itu yang terlihat dari kejauhan. Kutepikan mobilku di bawah pohon, lalu keluar dari sana dan berjalan menuju sebuah tempat di tengah bukit. Angin-angin berhembus cukup kencang, seolah mengiringi langkahku menuju sebuah tempat yang menjadi saksi.. Sebagai bukti salah satu dosa terbesar seorang Kim Jong Woon.

Aku berjongkok di sisi sebuah gundukan tanah dengan batu nisan yang bertuliskan sebuah nama. Nama orang yang sangat kurindukan kehadirannya dan tidak mungkin akan kembali ke dunia ini.

Jung Na Ra

15 September 1985 – 6 Februari 2007

 

“Nara-eonnie…”

** ** **

 

(Park Hye Mi POV)

 

“Aku mau pulaaaaanggg!!!” teriakku frustasi saat namja playboy ini terus mengendarai mobilnya membelah jalanan yang berlawanan dengan arah rumahku. “Yaak!! KIM JONG WOON!! AKU MAU PULAAANGGG!!!” teriakku lagi kali ini tepat di telinga kanannya.

“Yaak!!” gerutunya kesal, lalu menjauhkan telinganya dariku. “Kau bisa membuatku tuli!”

“Cih, biar saja telingamu itu tuli!!”

Mwoya? Andwae! Kalau aku tuli, aku tidak akan bisa mendengar suaramu yang merdu itu,” ujarnya sambil mengembangkan senyum menggoda dan menaik-turunkan kedua alisnya. Cih, playboy syndrome-nya keluar lagi.

“Yaak! Hentikan! Aku tidak akan mempan dengan rayuanmu, kau tahu?!!!” ujarku jengah sambil memukul kepalanya yang besar itu.

“Aissh… Jinjja? Kurasa kau tidak bisa berkutik saat aku menciummu tadi,” katanya sambil tersenyum aneh dan setengah menerawang.

Sialan, dia membuat wajahku panas!! Ah, tidak, hatiku juga panas sekarang! Aaarrgghhh!!

“Yaak, geumanhae!!” ujarku.

“Aaah, wajahmu merah sekali!” ujarnya puas sambil tergelak.

Awas kau, Kim Jong Woon!!

** ** **

 

(Author POV)

 

Jongwoon menghentikan mobilnya tepat di depan rumah keluarga Park. Sudah menjadi kewajibannya untuk mengantar pulang putri keluarga Park yang ia bawa pergi dengan paksa hingga malam seperti ini.

Saat namja itu menoleh ke samping kanannya, ia baru menyadari Hyemi yang sedang tertidur. Bagaimana tidak? Selama dua jam ia membawa yeoja itu pergi mengelilingi kota Seoul tanpa tujuan jelas setelah membawanya ke pantai. Wajar saja jika yeoja itu kelelahan sekarang.

“Kau memimpikanku?” bisik Jongwoon tepat di telinga kiri Hyemi. Dengan secepat kilat ia mengecup pipi kiri yeoja itu dan membuatnya terbangun.

“Sudah sampai,” ujar Jongwoon dengan santai sambil membukakan seat belt Hyemi seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Eoh?” ucap Hyemi yang kesadarannya masih belum terkumpul sepenuhnya sambil menggosok kedua matanya.

“Sudah sampai,” ulang Jongwoon. “Kau ingin aku menggendongmu sampai ke dalam kamarmu, hm?” godanya.

Hyemi mendelik. “No, thanks.”

Ia segera keluar dari mobil dan tidak lupa menutup pintunya dengan keras, membuat Jongwoon sedikit terlonjak kaget dan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang nona Park yang memiliki tubuh kecil itu bisa membuat pintu mobilnya hampir lepas?

“Hey… Good night, Honey!” ujar Jongwoon sedikit berteriak saat Hyemi baru saja akan memasuki rumahnya.

Hyemi menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir tanpa membalas ucapan selamat tidur dari Jongwoon atau hanya sekedar menoleh. Ia berpikir, jika ia memerdulikan namja itu, maka namja itu akan semakin sering mengganggunya. Yang harus ia lakukan sekarang sangat sederhana, menghindar dari makhluk(?) bernama Kim Jong Woon itu.

** ** **

 

“Baru pulang, Hyung?” tanya Sungmin saat mendapati sosok Jongwoon yang berjalan santai memasuki rumah menuju tangga.

“Hey, my dearest cousin!” sapa Jongwoon santai seraya berbalik dan menghampiri Sungmin.

“Kau baru pulang, Hyung?” tanya Sungmin lagi, mengulangi pertanyaan yang sama.

Jongwoon mengangguk enteng.

“Dari mana?”

“Mengantar Park Hye Mi pulang,” jawab Jongwoon sambil tersenyum puas dan dengan penekanan pada kata ‘Park Hye Mi’, seolah-olah ia ingin pamer pada sepupunya itu bahwa ia baru saja berhasil membawa pergi pujaan hati Sungmin.

Mwo? Jam segini?” tanya Sungmin seolah tak percaya sambil melirik jam tangannya. Jam delapan malam.

Ne, apa ada masalah?” tanya Jongwoon dengan nada yang sama, seakan-akan yang dilakukannya adalah hal yang biasa.

Hyung, Hyemi tidak seperti yeoja-yeoja-mu yang lain. Dia yeoja baik-baik dan..”

“Dan?” ucap Jongwoon dingin memotong ucapan Sungmin.

“Dan…” Sungmin menggantungkan kalimatnya. Ia menghembuskan nafasnya perlahan dan mulai melanjutkan ucapannya dengan mimik wajah nada bicara serius. “Aku harap kau tidak memperlakukannya seperti yeoja-yeoja-mu.”

Sudut bibir Jongwoon tertarik ke atas, membentuk seringai. “Apa ada urusannya denganmu? Apa kau namjachingu-nya? Apa kau kakaknya? Apa kau… Ah! Aku baru ingat! Kau secret admirer-nya!” ujar Jongwoon dengan senyum puas yang mengembang di bibirnya pada akhir kalimat. “Kau memuja Park Hye Mi yang bahkan tidak pernah tahu dan––aku rasa––tidak akan bersedia untuk membalas perasaanmu,” lanjutnya lagi yang membuat emosi Sungmin merangkak naik.

“Dengar, Saeng.. Kurasa ini sedikit berat bagimu karena kau harus bersaing denganku. Dan satu hal yang perlu kuingatkan..” Jongwoon mendekatkan wajahnya pada wajah Sungmin dan berbisik di sebelah telinganya pelan namun tajam. “Tujuan utamaku mendekatinya hanya untuk menyakitinya. Just it…”

Sekali lagi Sungmin merasakan detak jantungnya melebihi detak jantung normal pada umumnya dan untuk kesekian kalinya ia melihat senyum puas yang terkesan licik di bibir hyung-nya itu. Entah sudah yang keberapa kali, seorang Lee Sung Min merasa takut bercampur khawatir saat kedua matanya menangkap seringai di sudut bibir Jongwoon.

** ** **

 

Oppa!!! Sudah berapa kali kuingatkan? Jangan biarkan Kim Jong Woon ‘menculikku’!!” teriak Hyemi frustasi sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya sementara Jungsoo dengan tenang menghabiskan tehnya seperti pagi-pagi sebelumnya.

“Bagaimana bisa disebut menculik kalau pada kenyataannya dia sudah meminta izin dariku, Saeng-ah?” tanya Jungsoo dengan wajah malaikatnya yang sudah membuat emosi Hyemi naik ke atas kepala.

“Dan kau mengizinkannya?”

“Tentu saja,” jawab Jungsoo enteng. “Mana mungkin aku menolak izin baik darinya.”

“Justru itu!” Hyemi menyingkirkan roti dan teh yang baru saja akan kakaknya itu lahap dari hadapannya dan menekankan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. “Aku tidak pernah setuju dengan ajakannya!”

“Tapi pada akhirnya kau pergi bersamanya juga, kan?” tanya Jungsoo sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

“Aku tidak akan mau pergi dengannya kalau saja dia tidak mengetahui titik kelemahanku, Oppa!” sanggah Hyemi.

Jungsoo menghembuskan nafasnya perlahan. Ia sudah lelah berdebat dengan adik satu-satunya ini.

“Sebaiknya kau segera pergi ke kampus, Hyemi-ah,” ujar Jungsoo seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamarnya. Ia bahkan melupakan sarapan yang sudah menunggu untuk ia lahap.

“Yaak, Oppa!! Aku belum selesai bicara!”

Tapi percuma, sekeras apapun Hyemi berteriak, Jungsoo tetap melangkahkan kakinya ke lantai atas, menuju kamarnya tanpa memedulikan teriakan saeng-nya itu. Sekarang tinggal Hyemi yang menggerutu pelan.

“Awas kau, Jongwoon-ah…” desisnya pelan.

“Kau memanggilku?” ucap sebuah suara dari belakang Hyemi.

Gadis itu menoleh dan sontak membulatkan kedua matanya saat mendapati sesosok namja yang dengan santainya melahap roti yang awalnya menjadi santapan Jungsoo.

“K..kau di sini? Sedang apa kau di sini?” tanya Hyemi masih dalam efek keterkejutannya.

Jongwoon mengendikkan kedua bahunya santai sambil terus melahap makanan yang tidak jadi Jungsoo santap.

“Kau tidak lihat? Aku sedang makan,” katanya santai.

“YA! Itu makanan oppa-ku!” seru Hyemi seakan tidak rela makanan kakaknya dimakan oleh makhluk abstrak(?) ini. *author dijitak Clouds*

Jongwoon memutar kedua bola matanya sambil menarik sudut bibirnya ke satu arah membentuk sebuah seringai yang Hyemi sudah bosan melihatnya. Ia masih terus melahap makanan di depannya, tidak memedulikan tatapan Hyemi yang seakan ingin menelannya.

“Tidak ada larangan di sini dan tidak tertulis ‘Ini makanan Park Jung Soo, jadi jangan berani menyentuhnya kecuali kalau kau ingin ditelan Park Hye Mi’ di roti ini. Jadi aku boleh memakannya, kan?” ujar Jongwoon lagi kali ini dengan sikapnya yang lebih cuek.

“Kau tidak mengerti sopan santun, ya?! Ini bukan rumahmu, tahu!” seru Hyemi.

“Tapi ini rumah keluarga Park. Dan aku sudah mengenal baik dengan seluruh anggota keluarga ini.”

Hyemi mendengus. “Ya, kau memang mengenal baik dengan seluruh anggota keluargaku, kecuali aku. Jangan lupakan itu!”

Jongwoon meneguk teh yang ada di dekatnya, lalu tersenyum lebar.

“Kalau begitu ayo kita pergi!” ajaknya riang seperti anak kecil yang sudah tidak sabar untuk segera pergi ke taman bermain bersama ibunya.

Ia mengelap teh yang masih tersisa di sudut bibirnya dengan punggung tangannya, lalu kembali menatap Hyemi dengan kedua matanya yang berbinar-binar sambil memamerkan susunan giginya yang rapi.

Mwo? Pergi lagi? Untuk apa?” tanya Hyemi jengah.

“Supaya kita bisa saling mengenal satu sama lain dengan baik,” jawab Jongwoon polos.

Sejenak Hyemi berpikir, apa namja ini benar-benar sepolos ini atau ini hanya perasaannya saja? Mana mungkin ada playboy sepolos ini, iya kan?

“Cih, tidak perlu.”

Hyemi beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu depan setelah menggendong tas ranselnya di punggung. Tapi dengan cepat Jongwoon ikut beranjak dari kursinya dan menyusul langkah Hyemi.

“Kalau begitu kuantar kau ke kampus,” tawar Jongwoon dengan menyunggingkan senyum khasnya.

“Tidak usah,” tolak Hyemi cepat.

“Kau tidak merepotkanku.”

“Kapan aku bilang aku merepotkanmu?”

Jongwoon menelan ludahnya sambil berpikir untuk bisa pergi bersama yeoja keras kepala ini tanpa penolakan mentah-mentah seperti sebelumnya.

“Kuantar kau ke kampus, atau kau kucium,” ujar Jongwoon datar.

Mwo? Shireo!!!”  seru Hyemi dengan pandangannya yang sudah beralih pada Jongwoon dengan kedua matanya yang terbuka lebar.

“Kalau begitu ayo kuantar.”

Dan tanpa persetujuan dari si pemilik tangan, Jongwoon menggamit sebelah tangan Hyemi dan berjalan menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah keluarga Park.

** ** **

 

(Kim Jong Woon POV)

 

Akhirnya aku bisa memaksa gadis keras kepala ini untuk diantar ke kampus olehku. Ternyata meluluhkan hatinya tidak segampang yang kupikirkan sebelumnya. Jika dulu aku akan mendapatkan yeoja yang kuincar dengan satu strategi, maka berbeda dengan seorang Park Hye Mi. Ia akan selalu menolak tawaranku mentah-mentah, membuatku bingung cara apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya. Well, bukan Kim Jong Woon namanya kalau harus menyerah secepat ini. Dan lagi pula, aku sangat menyukai tantangan.

“Jongwoon-ah..” panggilnya di tengah keheningan yang menyelimuti kami.

Ne?” sahutku dengan kedua tangan yang masih sibuk dengan kemudi.

“Kau mengenal temanku?” tanyanya dengan tatapan ingin tahu yang ia lemparkan padaku.

Nugu?” kataku balik bertanya.

“Jung Na Rin..”

DEG! Kenapa dia membahas yeoja sialan itu?

“Ah.. Na.. Narin..”

Ne, kau mengenalnya?”

“Eh… Dia…”

** ** **

 

(Park Hye Mi POV)

 

“Kau mengenalnya?”

“Eh… Dia…”

Aku menunggu namja di sebelahku ini melanjutkan ucapannya, menjawab pertanyaanku barusan. Meskipun aku sudah berusaha untuk tetap bersikap wajar, tapi tetap saja kedua mataku sulit untuk tidak menatapnya setajam ini. Aku penasaran ada hubungan apa namja ini dengan Narin sebenarnya? Kenapa responnya aneh begini? Hanya menjawab ‘dia adik kelasku saat SMA dulu’ apa susahnya? Atau jangan-jangan ada yang disembunyikan dariku? Tapi apa, dan kenapa Narin menyembunyikannya dariku?

“Dia adik kelasku dulu. Wae?” katanya. Meskipun sikapnya biasa saja, tapi ia tidak bisa menyembunyikan kesan gugup dari suaranya yang sedikit bergetar.

Ani. Hanya bertanya,” kataku seraya mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang hampir tanpa cela namun tidak dapat menandingi ketampanan oppa-ku itu (?)

“Jongwoon-ah..” panggilku lagi.

Namja itu menggumam pelan sambil menoleh ke arahku tanpa menghentikan kesibukan kedua tangannya dari kemudi mobil.

“Aku boleh bertanya sesuatu?” tanyaku. Rasanya aneh sekali bersikap sopan pada namja yang selalu membuatku jengkel ini.

Ia tersenyum lembut, lalu menganggukan kepalanya sekali.

“Kenapa kau memutuskan pacar-pacarmu?” tanyaku.

Ia sedikit terkejut mendengar pertanyaanku itu, tapi sedetik kemudian ia bisa menormalkan sikapnya kembali.

For you..” jawabnya pelan, lalu kembali mengukir senyumnya.

Dasar namja ini…

“Untukku?” tanyaku datar.

“Tentu saja,” jawabnya. “Kalau kita ingin dianggap serius, maka kita harus membuktikannya, bukan? Dan itu yang kulakukan untukmu.”

Untuk beberapa detik aku terdiam setelah mendengar jawabannya. Sungguh di luar perkiraanku. Namja aneh sekaligus playboy ini bisa mengatakan hal yang menurutku sedikit bijak. Tapi apa buktinya kalau semua yang ia lakukan tulus untukku?

“Kalau aku tidak percaya dengan semua yang kau coba untuk buktikan padaku? Bagaimana?” tanyaku lagi, sedikit menantangnya.

Ia menarik sudut bibirnya, membuat senyum yang sedikit berbeda dari sebelumnya muncul di bibir tipisnya.

“Aku tidak akan menyerah. Park Hye Mi, I’ll always chase you..” katanya tanpa menatapku.

Satu hal yang tidak kau tahu, Kim Jong Woon.. Sekeras apapun kau berusaha, jika kau masih menganggapku sebagai mainan kecilmu, maka kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau inginkan.

** ** **

 

(Author POV)

 

Seorang yeoja menatap tajam tepat pada retina mata namja yang berdiri dalam jarak beberapa langkah di depannya. Namja itu membalas tatapannya dengan tak kalah tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya dengan dagunya yang sedikit terangkat. Dengan sekali lihat saja, orang akan tahu bagaimana watak namja ini.

“Ada apa?” tanyanya angkuh.

“Sudah berapa kali kubilang, Oppa? Jangan ganggu Park Hye Mi. Dia temanku, dan aku…” Yeoja itu menghembuskan nafasnya pelan dan kembali melanjutkan ucapannya. “Aku tidak mau sahabatku disakiti olehmu,” lanjutnya.

Namja itu menyeringai lebar, lalu menatap yeoja tadi dengan tatapan yang lebih tajam dari mata elang, seakan siap untuk segera menelannya.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan untuk mencegahku, hah?” tanyanya meremehkan. Ia berjalan selangkah ke arah yeoja itu.

Walau tak bergeming, namun yeoja itu sedikit terkejut dengan gerakan namja itu.

“Apapun..” jawab yeoja itu pelan namun dalam, menandakan keseriusannya.

Sekali lagi namja itu menyeringai dan maju selangkah.

Okay, coba buktikan.”

Yeoja itu menarik nafasnya dalam. Lalu suaranya mulai terdengar dengan sangat pasti dan yakin. “Berbeda seperti dulu, Kim Jong Woon-ssi. Kali ini aku tidak akan memohon, tapi aku memperingatkanmu.”

Jongwoon kembali maju selangkah hingga membuat jarak mereka tak lagi sejauh tadi. Ia terus maju sementara yeoja itu melangkah mundur, sampai akhirnya Jongwoon menyudutkannya di dinding. Wajah yeoja itu tak lagi seputih tadi, sekarang wajahnya sedikit memucat karena takut dengan segala kemungkinan yang akan Jongwoon lakukan padanya.

“Kau gadis pemberani yang pernah kukenal, Jung Narin,” ucapnya pelan tepat di telinga Narin, membuat gadis itu sedikit bergidik mendengar suara berat Jongwoon.

“Lalu bagaimana dengan Nara-eonnie?” tanyanya, membuat Jongwoon menjauhkan wajahnya dan menatap Narin tajam. “Apa dia bukan gadis pemberani?” tanyanya lagi, kali ini dengan senyuman yang sulit untuk diartikan.

“Jangan sebut namanya,” desis Jongwoon. “Aku sudah mencoba untuk melupakannya, kau tahu? Dan kau…” Jongwoon menghela nafasnya perlahan, lalu kembali melanjutkan ucapannya. “Kau kembali mengingatkanku padanya.”

“Kau tidak merindukannya, Oppa?”

Jongwoon kembali menatap Narin, namun dengan tatapan yang tidak setajam tadi.

“Aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarnya,” ucap Jongwoon setengah menerawang.

Tapi sedetik kemudian, Jongwoon kembali menatap tajam tepat pada retina Narin. Kedua tangannya dengan cepat mencengkeram kedua bahu kecil Narin dengan kuat, membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan.

“Lepaskan..” ucap Narin sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Jongwoon pada kedua bahunya.

Jongwoon menggeleng. “Dengar.. Aku tidak akan pernah melepaskan apapun yang sudah kudapatkan. Dan kau sendiri yang datang padaku dan mencari masalah denganku,” katanya sambil menarik sudut bibirnya ke atas. Lagi-lagi seringai itu muncul di bibirnya. “Sekarang.. rasakan akibatnya.”

Di detik berikutnya, yang Narin lakukan hanyalah membelalakkan kedua matanya saat Jongwoon memulai aksinya dengan sekali gerakan. Teriak. Hanya itu yang seharusnya bisa Narin lakukan, namun di saat seperti ini ia tidak yakin apakah ada orang yang bisa mendengar suaranya yang tercekat.

-To be continued-

P.S: Don’t forget to visit my blogger for read my other fanfiction 😀 :p