You are a great person if you ready to fall when you try to jump

Breakable

Breakable

 

Author: Ifa Raneza | Edited by: Hyemi Park | Cast: SJ’s Kyuhyun, Lee Hye-ah (OC) | Genre: Marriage Life, Family, Romance, Angst | Rating: PG-17 | Length: oneshot | Inspired by: TJ’s fan fiction (Between The Dark Road), SHINee–Run With We.

.

.

 

Ada beberapa hal yang memerlukan sebuah pengorbanan untuk mempertahankan sesuatu.

Walau pengorbanan itu terasa sangat berat.

 

—Breakable—

“Maaf…” Kyuhyun menghampiriku dengan raut wajah sedih. Aku tahu dia pasti merasa terluka, sama sepertiku. “Aku tidak mau kehilanganmu untuk selamanya,” tambahnya seraya meraih sebelah tanganku yang berkeringat dan menggenggamnya erat. Ia menundukkan wajahnya hingga menyentuh punggung tanganku. Kurasakan bibirnya menyentuh punggung tanganku dengan lembut, dan sedetik kemudian buliran cairan hangat mengenai tanganku.

Gwaenchana, Kyu…” bisikku pelan. Tanpa kusadari air mata sudah memenuhi pipiku. Dadaku rasanya sesak, apalagi saat melihat bahunya berguncang pelan dengan wajahnya yang masih ia sembunyikan di tanganku. Aku tahu, ini pasti berat untuknya, untuk kami.

.

.

Won’t you try?
Just take my hand and Run…run…run with me
I vow to never let you regret… let’s go.
Run run run with me

 

**

 

Three months ago…

Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat kulihat Kyuhyun berdiri sambil bersedekap di depanku. Sepertinya dia menungguku sejak tadi.

“Bagaimana?” tanyanya penasaran, tapi raut wajahnya masih terlihat dingin dan datar.

Aku mengulurkan tangan kananku yang menggenggam testpack dan membiarkannya memerhatikan benda itu. Ia meraih benda itu dan memerhatikannya dengan seksama, lalu dapat kulihat seulas senyuman muncul di bibirnya.

“Kau hamil?” ucapnya setengah tak percaya yang hanya kujawab dengan sekali anggukan. Ia terlihat senang dengan binaran di kedua matanya, lalu ia segera mendekapku ke dalam pelukannya dan mengangkat tubuhku sebelum ia berputar dengan cepat.

“Aish, kau membuatku pusing!” omelku setelah ia menurunkan tubuhku. Aku berpegangan pada ujung meja karena kepalaku terasa seperti berputar-putar saat ini. Sementara Kyuhyun hanya tertawa geli sambil memeluk pinggangku dari belakang. Kemudian ia berbisik pelan dengan bibirnya yang sudah menempel di sebelah pipiku. “Mianhae…”

Bisa kurasakan ia tersenyum sambil menumpukan dagunya pada pundakku, sementara sebelah tangannya mengusap-usap permukaan perutku yang masih terlihat rata. Aku tahu, kau pasti menantikan hal ini kan, Kyuhyun?

“Ah, kita juga harus memberitahu eomma,” ujarnya seraya melepaskanku dari pelukannya, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.

Aku bisa melihat itu. Kilatan bahagia di kedua matanya saat menceritakan berita bahagia ini pada orang tuanya juga orang tuaku. Dan aku yakin ia juga bisa melihat kilatan yang sama di kedua mataku. Karena detik ini kami tahu, bahwa Cho Kyuhyun telah menjadikanku sebagai wanita seutuhnya.

**

 

Hari ini Kyuhyun sengaja mengajakku jalan-jalan di pertokoan. Dia terlihat antusias ketika kami melihat beberapa ibu muda yang mengajak bayi mereka jalan-jalan. Sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku bisa menjadi ibu-ibu muda itu. Tak lama kemudian kami sampai di depan toko perlengkapan bayi, Langkahku ikut terhenti saat mata Kyuhyun mengarah pada etalase yang memamerkan beberapa perlengkapan bayi. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sampai suaranya kembali terdengar.

“Bagaimana kalau kita—” Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya pun aku sudah tahu apa yang ada di jalan pikirannya saat ini. Aku menggeleng-geleng kencang menolak usulnya, tapi sebaliknya ia menarik tanganku memasuki toko itu.

“Kyuhyun-ah, untuk apa kita ke sini?” tanyaku dengan berbisik seraya menahan tangannya yang terus menarikku dengan paksa.

Ia mendengus, namun senyumannya masih tersungging di bibirnya. “Kau lihat? Banyak perlengkapan bayi yang lucu-lucu. Lagipula belum tentu di akhir pekan selanjutnya aku bisa menemanimu belanja, sayang kalau kita melewatkan kesempatan ini,” ujarnya senang sambil menarik tanganku. Dan lagi-lagi aku menahannya.

“Tapi ini usia kandunganku masih satu minggu. Masih terlalu awal untuk membeli perlengkapan bayi.”

Setelah kata-kata itu lolos dari bibirku, kulihat kedua matanya memicing menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa menelan ludah mendapati tatapan seperti itu olehnya, dan di detik selanjutnya yang bisa kulakukan hanya menuruti kemauannya.

Ia tampak antusias ketika memilih perlengkapan bayi, sejak awal hanya dia yang mendominasi kegiatan belanja ini. Semua perlengkapan yang dipilihnya berwarna biru, hitam, dan putih, warna kesukaannya. Aku hanya bisa tertawa ketika Kyuhyun mengatakan ketidaksabarannya untuk kehadiran bayi kecil kami yang masih terhitung sembilan bulan lagi. Aku juga tidak sabar menunggu anggota keluarga baru kami itu hadir di tengah-tengah kami.

“Kira-kira bayi kita laki-laki atau perempuan, ya?” Kyuhyun setengah menerawang sambil menyuapkan sesendok es krim vanilla ke dalam mulutnya. Saat ini kami sudah berada di sebuah kafe dengan membawa berbagai perlengkapan bayi yang dibelinya tadi.

Aku menggeleng pelan. “Mollayo, masih terlalu awal untuk mengetahui jenis kelamin si bayi,” sahutku sambil mengusap permukaan perutku.

Kyuhyun tersenyum lembut sembari menyentuh tanganku yang sedang mengusap permukaan perutku, ikut mengelusnya pelan. “Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya membuka kedua matanya,” bisiknya.

“Dan mendengar suaranya untuk pertama kali,” sambungku yang dibalasnya dengan sebuah anggukan, lalu mengecup bibirku singkat.

Saranghae…

**

 

Yeobo, lihat! Aku membawa sesuatu untukmu.”

Kulihat Kyuhyun tiba di rumah kami dengan raut wajah senang. Ia menghampiriku di dapur dengan langkah tergesa, seperti tidak ingin melewatkan waktu sedetik pun. Aku segera membuka apronku dan menyusulnya di meja makan, sementara ia membuka bungkusan plastik yang dibawanya.

“Ini apa, Kyu?” tanyaku dengan kedua alis yang bertaut, menatap berbagai obat-obatan yang dibawanya. Tapi kurasa itu bukan obat.

“Ini vitamin untuk kandunganmu. Eomma bilang ibu hamil akan merasa pusing atau mual di awal kehamilannya, jadi eomma menganjurkanku membeli vitamin-vitamin ini,” jawabnya sambil membuka jasnya dan menyampirkannya di kursi.

“Tapi… sebanyak ini?” ucapku heran. Kedua mataku menatap tak habis pikir ke arah botol-botol dengan berbagai nama yang terlihat asing. Tapi Kyuhyun hanya tersenyum lebar.

“Itu untuk kebaikanmu dan juga…” Kyuhyun mengusap permukaan perutku yang terlihat mulai membesar sejak kehamilanku. Ya, ini sudah hampir satu bulan dan rasanya perutku selalu mual setiap kali aku akan makan. “Untuk bayi kita,” lanjutnya, lalu mengecup singkat permukaan perutku, seolah-olah sedang mencium bayi kami di dalamnya.

Tanpa sadar sudut-sudut bibirku bergerak ke satu arah, membentuk seulas senyuman penuh arti. “Arraseo, Captain. Aku siapkan makan malam dulu, ne?”

Kyuhyun tertawa mendengar ucapanku, lalu ia beranjak dan menahan pinggangku di dalam dekapannya. “Mau kubantu?”

“Tapi kau terlihat tidak seperti sedang membantuku, Cho Kyuhyun. Lepaskan aku! Aku sama sekali tidak bisa bergerak,” protesku sambil meronta-ronta di dalam pelukannya. Bukannya melepaskanku dia malah terkekeh pelan sambil mengecup pundakku dengan bertubi-tubi, menyalurkan efek sengatan listrik ke seluruh tubuhku dalam hitungan detik.

“Tapi kau terlihat menikmatinya, Nyonya Cho,” komentarnya, sontak membuat kesadaranku kembali dan aku mendapatinya tersenyum penuh arti. Sial!

“Aish! Lepaskan aku!” jeritku sambil mendorong-dorong pundaknya dan hanya suara tawanya yang terdengar. Kyuhyun memang selalu berhasil menerbangkan kesadaranku entah ke mana.

**

 

Terdengar suara derap langkah terburu-buru yang semakin mendekatiku. Lama kelamaan derap langkah itu semakin nyata dan pintu kamar mandi pun terbuka dengan sosok Kyuhyun yang tampak khawatir di baliknya.

“Kyu…” panggilku lemah.

Kyuhyun bersimpuh di dekatku dan menggenggam tanganku, menyalurkan kekuatannya padaku. “Ada apa?” tanyanya, masih dengan raut wajah khawatir.

Aku hanya tersenyum menenangkan, tapi sepertinya itu sia-sia saja. Kyuhyun masih terlihat cemas, bahkan semakin cemas, melihat wajahku yang memucat dan kedua mataku yang setengah tertutup. Tadi pagi-pagi sekali, sebelum Kyuhyun terbangun, aku merasa perutku kembali mual. Itu wajar, tapi semakin tidak wajar saat kurasakan tubuhku melemas setelah memuntahkan isi perutku. Bukan hanya itu, aku juga merasakan ada sesuatu yang menyerang bagian di dalam perutku, seperti dihantam oleh sesuatu dengan sangat keras. Entah apa. Sejak tadi aku hanya bisa terduduk di lantai kamar mandi, hingga suara Kyuhyun terdengar mencari-cariku di kamar.

“Kau kenapa, Hye? Kau sakit?” tanyanya sambil menyeka keringat di dahiku dengan tangan kanannya dan tangan kirinya beralih ke perutku karena aku mencengkeramnya sejak tadi.

Aku hanya menggeleng lemah. Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku hari ini. Aku rasa sejak awal kehamilanku ini pertama kalinya aku merasa keanehan ini.

“Kuantar ke dokter, ya?” tawarnya. Aku tidak tahan melihat ekspresi khawatir di wajahnya. Rasanya dadaku terasa sesak secara tiba-tiba.

“Tidak usah. Biar aku sendiri saja. Pagi ini kau harus menghadiri rapat, kan?” tolakku halus, meskipun sebenarnya hanya suaraku yang sulit untuk dikeluarkan. Membuka mata saja rasanya sangat sulit.

“Tapi aku—”

“Aku bisa pergi sendiri, Kyu,” potongku, meyakinkannya. Ia menghela nafasnya dengan berat, lalu menurut.

Ia membantuku untuk berdiri dan mengantarkanku ke kamar untuk segera berganti baju, sementara dia mandi. Perlahan-lahan rasa sakitnya tidak terasa lagi, tapi kedua kakiku rasanya sangat berat hingga langkahku terlihat seperti diseret. Sebenarnya apa yang terjadi padaku?

**

 

Kini aku sudah duduk di hadapan seorang dokter wanita yang menangani kandunganku. Dokter itu terlihat menatap hasil pemeriksaan di tangannya dengan raut wajah serius. Hal ini membuatku semakin khawatir saja.

“Bagaimana, Dokter?” tanyaku, mengalihkan tatapan dokter itu hingga kini tertuju ke arahku.

“Nyonya, apa ini pertama kalinya Anda memeriksakan kandungan Anda ke dokter?” Kalimat pertamanya cukup mampu menyentak jantungku.

“Tidak. Saya selalu rutin memeriksakan kandungan di setiap bulannya.” Dokter itu terlihat semakin serius, membuatku curiga. “Ada apa, Dokter?”

“Nyonya, Anda tidak bisa terus mempertahankan kandungan Anda.” Lagi-lagi jantungku terasa hampir lepas dari tempatnya.

“Kenapa?” tanyaku dengan nada yang menuntut. Ini gila! Itulah kata-kata pertama yang terbesit di benakku.

“Anda mengidap kanker rahim.”

Lagi. Sekali lagi aku merasa tubuhku menggigil, bergetar hebat hingga aku tidak menyadari kedua tanganku mengepal kuat. Dan jantungku… Rasanya jantungku sudah berhenti berdetak atau terjatuh dari tempatnya entah ke mana. Kepalaku mulai terasa berputar-putar, membuatku tidak fokus dengan kalimat-kalimat yang dokter di hadapanku ucapkan.

“Tapi kanker yang Anda derita masih bisa diobati, Nyonya.” Suara dokter itu kembali menarik kesadaranku. Entah sejak kapan air mata menumpuk di pelupuk mataku, karena saat ini pandanganku sudah mengabur.

“Bagaimana— Bagaimana caranya?” tanyaku dengan suara yang bergetar. Apapun akan kulakukan asalkan penyakit mematikan itu bisa lenyap dari tubuhku. Apapun akan kulakukan demi Kyuhyun dan bayi ini.

“Dengan operasi pengangkatan rahim.”

Aku rasa telingaku tuli saat ini. Ini tidak benar, kan? Tidak mungkin aku harus membuang jauh-jauh harapanku dan Kyuhyun yang sudah kami bina sejak lama. Kami sudah sangat tidak sabar menantikan kehadiran bayi ini, tapi kenapa? Kenapa aku harus mencegah kehadiran buah hatiku sendiri?

**

 

Pikiranku masih kacau sejak kunjunganku ke dokter pagi tadi. Sejak saat itu aku lebih sering melamun, juga lebih sering menangis. Bagaimana reaksi Kyuhyun saat tahu bahwa kandunganku tidak dapat dilanjutkan lagi? Bagaimana jika dia tidak mau mengerti dan malah pergi meninggalkanku? Aku takut jika semua kekhawatiranku itu benar-benar terjadi. Aku takut kehilangan Kyuhyun dan anak ini.

Yeobo!”

Aku tersentak kaget saat merasakan kedua tangan kekar yang telah melingkar di tubuhku. Bisa kurasakan Kyuhyun menyandarkan kepalanya pada pundakku dari belakang. Sontak saja aku segera menghapus air mata yang sejak tadi memenuhi kedua pipiku.

“Kau melamun, Hye?” tanyanya sambil memicing curiga. Dia juga mendapati setitik air mata di sudut mataku. “Kau kenapa?” tanyanya sedikit panik. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum ringan.

“Aku tidak apa-apa,” jawabku dengan nada yang kuatur agar terdengar senormal mungkin. Aku tidak mau dia melihat istrinya tampak menyedihkan.

“Kau yakin?” tanyanya meyakinkan, aku hanya mengangguk yakin, lalu beranjak membawakan tas kerjanya. “Bagaimana hasil pemeriksaannya tadi? Kau sakit apa?” tanyanya lagi yang membuat langkahku terhenti seketika. Aku berbalik dan menatapnya yang terlihat penasaran. Dia pasti akan merasa hancur jika aku memberitahu yang sebenarnya.

“Aku tidak sakit, kok. Hanya efek dari kehamilanku. Sepertinya bayi di dalam sini sangat agresif,” jawabku yang tentunya sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sebenarnya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi selain membohonginya. Semuanya terasa salah bagiku.

“Benarkah?” Kyuhyun menghampiriku untuk segera merangkulku dengan hangat. Ia mengusap permukaan perutku yang mulai terlihat membesar, penuh kasih sayang dan tentunya membuatku semakin tidak tega untuk menyingkirkan bayi ini. Bagaimana jadinya jika Kyuhyun tahu bahwa kami tidak akan pernah dapat dikaruniai keturunan?

“Kalau begitu kau harus semakin rajin mengonsumsi buah, sayur, dan vitamin untuk kandunganmu, Hye. Kita harus menjaga bayi kita untuk tetap sehat di dalam sini,” ujarnya semangat sambil mengecup kedua pipiku.

Aku hanya mengangguk, tersenyum sekenanya. Lalu ia hendak beranjak menuju kamar kami saat tanganku menggapai pergelangan tangannya, menahannya untuk tetap di sini. Dadaku semakin terasa sesak dan membuat tangan kiriku yang sedang menenteng tas kerjanya melemas begitu saja, hingga tas kerjanya terjatuh di samping kakiku yang semakin terasa lemah untuk menopang tubuhku.

“Hye-ah?” Kyuhyun menatapku bingung. Ia menarikku untuk mendekat padanya dan menghapus air mata yang berlomba-lomba menuruni kedua pipiku. Apa aku bisa kehilangan dirinya? “Kau kenapa? Ada apa sebenarnya?” tanyanya khawatir. Aku tidak menjawab, aku hanya menghambur memeluknya dengan erat, sedangkan dia semakin bingung dengan sikapku.

“Hye?” Suaranya terdengar semakin pelan karena suara isak tangisku yang semakin mendominasi. Aku harus bertahan demi dirinya dan dialah alasanku untuk tetap bertahan. Kumohon, Kyu… Jangan pernah pergi dariku.

“Tidak apa-apa, ceritakanlah padaku. Sebenarnya ada apa?”

“Kyu…”

“Hm?”

“Aku takut…” lirihku sambil terus terisak di dadanya. “Aku takut jika kau pergi meninggalkanku, Kyuhyun-ah. Aku takut..”

Bisa kurasakan tangan Kyuhyun mulai melingkar di punggungku, mengusapnya secara perlahan untuk menularkan kekuatannya padaku. Kekuatan yang kubutuhkan.

“Kenapa berkata seperti itu?” bisiknya di telingaku seraya menenangkanku yang masih terisak hebat di dalam dekapannya. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu. Kau tahu aku mencintaimu, kan? Aku akan terus bertahan di sampingmu, Hye. Sampai kapanpun, sampai aku tak lagi mampu untuk bernafas.”

Aku tidak tahu harus menghadapi Kyuhyun seperti apa. Aku merasa tidak pantas untuk menatap kedua matanya jika terus mempertahankan kebohongan ini. Tapi aku lebih merasa gagal jika melihatnya terpuruk dan kecewa saat berita buruk ini menembus pendengarannya. Aku takut jika dia tidak dapat menerima kenyataan ini.

.

.

All that you should give up on are too much for your tiny shoulder
I will take half of them
So just lean onto me right now

**

 

Ini sudah dua bulan sejak kudengar berita buruk tentang kesehatanku waktu itu. Dan semakin lama, perutku terasa semakin sakit. Bukan, ini bukan karena kehamilanku, tapi aku yakin ini pasti karena kanker yang kuderita. Untungnya Kyuhyun tidak pernah tahu tentang ini, dan jika rasa sakit ini datang pun Kyuhyun tidak sedang berada di rumah. Jadi dia tidak perlu melihatku kesakitan seperti saat ini.

Aku sedang membereskan kamar saat rasa sakit ini datang. Aku hanya bisa mencengkeram bajuku di bagian perut dan terduduk dengan bersandar pada pinggiran tempat tidur. Kenapa rasanya rasa sakitnya semakin menjadi-jadi? Bahkan kurasa rasa sakitku saat ini melebihi rasa sakit yang pernah kurasakan di hari-hari sebelumnya.

Aku hanya bisa meringis pelan sambil menggigit bibir bawahku kuat-kuat, mencoba mengabaikan rasa sakit ini dan berusaha untuk bangkit. Tapi percuma, rasa sakit ini semakin menyerangku hingga tanpa sengaja tanganku menyenggol lampu nakas dan menimbulkan bunyi gaduh.

Yeobo?”

Astaga, kenapa Kyuhyun pulang lebih awal hari ini? Biasanya dia akan pulang beberapa menit sebelum makan malam.

Yeobo,” panggilnya sekali lagi dan mau tidak mau aku harus menyahutnya.

N–ne?” Sial, suaraku terdengar seperti orang yang sedang merintih kesakitan. Bisa kupastikan sekarang Kyuhyun pasti sedang bergegas menuju kamar kami dengan raut wajah khawatir.

Yang bisa kulakukan sampai kedatangannya adalah meringis, mencengkeram bajuku, dan terus berusaha bangkit walau hasilnya nihil. Usahaku selalu gagal hingga terdengar suara pintu yang dibanting. Kyuhyun bergegas berjalan masuk ke dalam kamar dan mencari-cariku. Aku tidak siap melihat reaksinya, tapi bisa kulihat wajahnya memucat ketika mendapatiku terduduk lemas di lantai dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhku.

“Apa yang terjadi padamu?!” tanyanya dengan nada bicara yang meninggi. Ia terlihat khawatir dengan peluh yang memenuhi wajahnya. Kasihan… dia baru saja pulang dari kantor dan harus mendapatiku yang sebegini lemahnya. Kelemahanku hanya menambah bebannya saja.

“Kita harus ke dokter,” putusnya membuatku mati-matian menolak.

“Ja–jangan…” ucapku pelan, nyaris berbisik sambil berusaha menahan lengannya. Tapi Kyuhyun mengabaikannya, ia terlihat emosi ketika mendengar penolakanku. Ia berusaha mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya dan membawaku keluar rumah.

“Kyu…”

“Kita harus ke dokter sekarang juga!” bentaknya, membungkam mulutku yang hendak melayangkan berbagai penolakan dan alasan.

Seketika itu, rasa takut menyergapku. Bagaimana jika kenyataan pahit itu sampai ke telinga Kyuhyun?

**

 

“Kandungan Nyonya Cho baik-baik saja.”

Suara dokter dibalik tirai yang membatasi kami masih bisa kudengar dengan jelas. Aku hanya terbaring di atas tempat tidur sambil meremas tanganku sendiri yang mulai terasa mendingin. Hanya menunggu hitungan detik untuk Kyuhyun mengetahui semuanya.

“Tapi kenapa dia terlihat tidak baik-baik saja, Dokter?”

Kali ini suara Kyuhyun yang terdengar, membuat degup jantungku semakin menjadi-jadi mendengar suaranya yang terdengar menuntut. Terdengar helaan nafas berat sebelum suara dokter tadi kembali bergema.

“Itu karena Nyonya Cho mengidap kanker rahim.”

Bisa kurasakan hawa dingin menyelimutiku sampai suara Kyuhyun kembali terdengar.

“Bagaimana mungkin— ANDA PASTI SALAH!!!” Ia berteriak dengan penuh rasa kecewa sambil menggebrak meja dokter. Mendengarnya saja aku sudah menggigil ketakutan, apalagi jika aku menatapnya langsung?

“Sejak awal saya sudah menganjurkan Nyonya Cho untuk melakukan operasi, tapi Nyonya Cho menolaknya.”

“Sejak awal?” Suara Kyuhyun merendah, namun semakin terdengar dingin. “Sejak kapan maksudmu, Dokter?”

“Jadi Anda belum tahu, Tuan?”

Hening sejenak, dan dokter itu pun kembali melanjutkan ucapannya. “Sejak usia kandungan istri Anda menginjak bulan pertama, saya sudah menganjurkan operasi ini, Tuan.”

Lagi-lagi hening, aku tidak yakin apa yang terjadi di balik tirai ini. Tapi yang jelas, pasti Kyuhyun terlihat terpuruk sekali.

“Tapi… dia tidak pernah memberitahuku,” ucapnya lirih.

Tanpa sadar bersamaan dengan kalimat itu, air mataku meluncur dengan bebasnya membasahi kedua pipiku. Bibirku bergetar hebat dan aku sudah tidak tahan untuk menahan rasa sesak di dadaku. Aku gagal, aku merasa benar-benar gagal untuk menjadi istri yang baik.

“Aku harus bagaimana…?”

“Satu-satunya jalan keluar hanya operasi pengangkatan rahim, Tuan.”

“Pengangkatan rahim?”

“Benar, Tuan. Dengan operasi pengangkatan rahim ini kanker yang diderita Nyonya Cho akan mati.”

“Tapi.. apa itu artinya dia harus menggugurkan bayi kami?”

“Memang terasa berat, tapi itulah kenyataannya. Anda bisa menandatangani surat pernyataan ini jika menyetujui tindakan operasi terhadap istri Anda.”

Hening. Yang bisa kudengar hanyalah detak jantung dan isak tangisku sendiri. Tanganku sudah membekap mulutku sendiri, takut jika Kyuhyun bisa mendengar isakanku. Tapi hasilnya dadaku semakin terasa sesak.

“Di mana aku bisa menandatanganinya?”

Rasa sesak itu semakin menjadi. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan menyibakkan tirai yang membatasi kami sejak tadi. Aku segera menghambur ke arah Kyuhyun, tapi kakiku tidak lagi mampu menyangga tubuhku.

Kyuhyun tersentak dan menghampiriku yang terjatuh di lantai. Ia membantuku untuk bangkit, menjadi penopang untuk tubuh lemahku ini.

“Hye…”

“Kyu, jangan…”

Kyuhyun terlihat terluka. Inilah yang paling kutakutkan sejak awal. Aku takut dia terluka dan kecewa karenaku.

“Kenapa, Hye?” lirihnya. Matanya tampak berkaca-kaca menatapku yang memohon padanya, membuat dadaku sakit, seperti ada yang menusuknya dari dalam. “Kenapa kau memilih untuk melewati kenyataan ini sendirian? Kenapa kau tidak mengizinkanku untuk membagi bebanmu?!” teriaknya di depan wajahku. Dia marah… dan kecewa.

“Aku takut, Kyu…” bisikku, menahan rasa sesak yang sedari tadi menyerangku. “Aku takut tidak bisa menerima ini semua. Aku takut kau akan menyingkirkan anak kita.”

“Tapi bukan berarti kau harus menyembunyikannya dariku, Lee Hye-ah!” Ia mencengkeram kedua pundakku dan mengguncangnya pelan. Air matanya jatuh begitu saja dengan bibirnya yang bergetar hebat. Aku tahu dia terpuruk, dia hancur. Lebih hancur dibanding aku.

“Kyu, kumohon… biarkan aku melahirkan anak ini.”

Andwae! Kau bisa mati, Hye!”

“Tapi aku tidak bisa membiarkan anak ini mati, Kyu!”

Kyuhyun terdiam, kini kami saling menatap dengan air mata di pelupuk mata masing-masing. Tangannya sudah melorot sejak tadi, tubuhnya terlihat lemas. Aku tidak tahu apa yang di pikirkannya selama keheningan menyelimuti kami. Kemudian ia berbalik ke meja dokter dan meraih pulpen serta membuka map hijau yang kuyakini adalah surat pernyataan itu.

“Kyuhyun-ah…” ratapku, memohon padanya untuk menghentikan semua ini. Kutahan tangannya yang hendak menggoreskan tinta tepat di atas materai, mencoba mencabut keputusannya untuk melenyapkan harapan kami. “Setelah operasi itu, kita tidak akan pernah bisa punya anak, Kyu.. Kumohon, jangan lakukan itu.”

Ia menatapku dengan kedua matanya yang berair, terlihat kosong dan nanar. Ia benar-benar terpuruk, seolah-olah terperosok ke dalam lembah berduri setelah terjatuh dari langit lapisan paling atas.

“Aku tidak mau mengorbankan anak ini, Kyu… Ini anakku, anak kita,” ucapku sambil mengeratkan genggamanku pada tangannya yang terasa berkeringat.

Ia menggeleng, meruntuhkan kekuatan yang sudah susah payah kubangun. “Ada beberapa hal yang memerlukan sebuah pengorbanan untuk mempertahankan sesuatu. Walau pengorbanan itu terasa sangat berat,” bisiknya sebelum menepis tanganku dan mulai menggoreskan tinta pada surat pernyataan itu.

Aku hanya bisa meronta, berusaha menghentikannya dengan segala upaya yang bisa kulakukan. Tapi ia tetap membulatkan tekadnya, ia tetap ingin menyingkirkan bayi ini setelah usahaku untuk tetap bertahan dari semua rasa sakit. Aku mencengkeram tangannya dari belakang, tapi itu tak cukup kuat untuk mencegahnya menandatangani surat bermaterai yang akan menghancurkan semua harapanku.

“Kami akan segera melakukan tindakan operasi, Tuan.” Kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu membuat tubuhku terasa semakin lemas.

Kini aku hanya bisa terisak sambil membentur-benturkan dahiku pada punggungnya yang bergetar, sementara ia hanya membeku dengan nafas yang tersengal. Beban ini terlalu berat untuk kami, ya Tuhan. Beban ini terasa membunuhku secara perlahan-lahan, terlebih saat pria yang menjadi penopang hidupku itu memilih keputusan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Beban ini terlalu menyakitkan…

**

 

Kami pulang dengan tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Tak banyak pembicaraan yang terlontar dari bibir kami. Tak lebih dari satu kalimat pendek, seperti ‘Istirahatlah’, ‘Jangan lupa cuci muka’, atau ‘Ganti bajumu’. Hanya itu, tak lebih. Aku juga tidak tahu apa yang harus kuucapkan padanya setelah apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Aku tidak berani membuka pembicaraan, aku takut jika ia kembali tersulut emosi seperti tadi. Haruskah aku memohon lagi?

Yeobo.”

Suara rendah itu membuatku tersentak. Aku berbalik dan mendapati Kyuhyun sedang bersandar di ambang pintu dengan pakaian formal yang telah berganti menjadi piyama biru. Matanya sembab, tidak jauh berbeda dengan mataku.

“Kau tidak mau menemaniku makan malam?” tanyanya pelan. Jelas sekali ia masih belum melupakan masalah tadi, suaranya masih terdengar sedikit serak.

“Tunggu sebentar.” Entah kenapa tenggorokanku menjadi kering. Aku hanya bisa tersenyum sekenanya, sementara tanganku masih bergerak melipat beberapa kemejanya dan memasukkannya ke dalam lemari.

Bibirnya melengkung lemah ketika kakiku melangkah menghampirinya di ambang pintu. Ia mengulurkan tangannya, menungguku untuk menggapainya. Kami berjalan beriringan ke ruang makan dengan tangan yang saling bertaut. Dingin. Tangan kami yang bersentuhan terasa dingin, entah kenapa. Perasaanku masih terguncang dan aku yakin Kyuhyun tak lebih baik dariku.

Menit-menit selanjutnya kuhabiskan di dapur, menyiapkan makan malam untuk kami, sementara Kyuhyun memerhatikanku dari meja makan. Entah apa yang ada di kepalanya, tapi kulihat tatapannya tak pernah lepas dariku, membuatku merasa semakin aneh saja.

Makanan sudah siap dan kini kami sudah duduk berhadapan dengan meja makan menjadi penghalang. Lagi-lagi kami berdua tenggelam dalam diam. Hanya suara dentingan sumpit yang beradu dengan mangkuk yang menjadi bunyi pengiring, sementara kami disibukkan dengan pikiran masing-masing. Suasananya dingin sekali, kurasa ini pertama kalinya aku merasakan suasana seperti ini sejak pernikahan kami satu tahun yang lalu.

Tring!

Kami sama-sama menoleh ke bawah meja, tepat saat sumpit Kyuhyun terjatuh dari pegangannya. Ia menunduk, hendak memungut sumpit itu saat aku mencegahnya.

“Biar kuambilkan yang baru,” tawarku, seraya beranjak ke dapur untuk mengambilkan sumpit yang baru.

Kurasa pikiranku benar-benar kacau. Aku tidak bisa menemukan di mana sumpit atau sendok yang kusimpan. Rak piring hingga ke laci-lacinya sudah kuperiksa, tapi nihil. Aku tidak menemukannya. Di mana? Di mana kusimpan?!

“Hye, kau baik-baik saja?” Kyuhyun menyusulku ke dapur. Wajahnya tampak khawatir, tapi aku enggan membalas tatapannya. Aku masih mencari-cari di mana aku meletakkan sumpit. Gerakanku semakin keras mencari, sampai ia menghentikanku.

“Hentikan,” desisnya tajam. Kedua tangannya mengunci erat kedua tanganku, sementara matanya memaksa untuk menerobos dinding tak kasat mata yang membatasi kami. Aku marah, aku benar-benar kecewa padanya.

“Tapi, aku—”

“Aku tidak membutuhkan sumpitnya lagi.” Ia menghapus air mata yang tidak kusadari sudah mengalir di pipiku. Jemarinya dengan lembut membelai wajahku, tidak membiarkannya terluka sedikitpun. “Aku membutuhkanmu..” bisiknya, kembali menggetarkan hatiku. Hatiku yang sudah terluka dan hancur berkeping.

“Tetaplah di sini, Hye-ah. Tetaplah bersamaku,” bisiknya lagi, mencoba menarikku ke dalam dekapannya, tapi aku menolak.

Aku melewatinya menuju kamar. Tidak kupedulikan apa penilaiannya tentang sikapku barusan. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Aku ingin menenangkan hati dan pikiranku. Hanya sendiri.

Belum sampai aku di ambang pintu, langkahku terhenti. Di samping meja televise bisa kulihat bungkusan-bungkusan plastik yang beberapa bulan lalu kami bawa sepulang dari toko perlengkapan bayi. Aku ingat, Kyuhyun-lah yang memilihkan semua itu untukku. Untuk bayi kami.

Langkahku kembali membawaku mendekati bungkusan itu, membukanya dan membongkar isinya. Semuanya, barang-barang ini membuat hatiku mencelos. Rasanya sesak, sakit… sakit sekali. Seperti ada yang menusukku dari dalam, dan ketika aku ingin meluapkan semuanya, justru rasa sakitnya semakin bertambah, membuatku merasa serba salah. Aku benci ini. Aku benci diriku sendiri!

“Ssst…”

Seseorang mengecup daun telingaku dari belakang. Sementara kedua tangannya sudah melingkar rapi di perutku. Aku sadar tubuhku berguncang karena sejak tadi tangisanku belum juga mau berhenti. Bagaimana bisa isak tangis ini berhenti, sementara rasa sakit yang lebih hebat dari penyakit itu masih setia menggerogoti hatiku.

“Aku tahu ini sangat sulit, aku tahu…”

Bisikan itu terdengar seperti kaset rusak yang terus berulang, tanpa henti selama isak tangisku masih terdengar. Tangannya yang sejak tadi bertengger di perutku kini bergerak, membentuk pola melingkar di permukaan perutku yang sudah terbalut gaun tidur. Di sini, di dalam sini ada nyawa yang harus lenyap dalam hitungan beberapa puluh jam lagi. Hanya dalam hitungan jam…

.

.

You wondered why it has not been easy
I understand
I was in the same way

**

 

Aroma obat masih tercium di hidungku saat mataku mulai terbuka dengan berat. Mataku mengawasi sekelilingku. Semuanya putih dan… hampa. Semuanya terasa hampa, tak berarti. Terutama hatiku.

“Hye…” Aku menatap ke arah pintu, mendapati seseorang berdiri di sana dengan tatapan hampa, sehampa perasaanku setelah operasi menyakitkan itu terasa menghancurkan hidupku.

“Maaf…” Kyuhyun menghampiriku dengan raut wajah sedih. Aku tahu dia pasti merasa terluka, sama sepertiku. “Aku tidak mau kehilanganmu untuk selamanya,” tambahnya seraya meraih sebelah tanganku yang berkeringat dan menggenggamnya erat. Ia menundukkan wajahnya hingga menyentuh punggung tanganku. Kurasakan bibirnya menyentuh punggung tanganku dengan lembut, dan sedetik kemudian buliran cairan hangat mengenai tanganku.

Gwaenchana, Kyu…” bisikku pelan. Tanpa kusadari air mata sudah memenuhi pipiku. Dadaku rasanya sesak, apalagi saat melihat bahunya berguncang pelan dengan wajahnya yang masih ia sembunyikan di tanganku. Aku tahu, ini pasti berat untuknya, untuk kami.

Gwaenchana. Aku tahu ini juga berat untukmu,” ucapku lagi, kini tanganku sudah beralih menuju punggungnya, mengusapnya pelan. Perasaannya masih terguncang, sama sepertiku, setelah kehilangan buah hati kami, harapan kami.

“Aku merasa gagal, Hye… Aku gagal..” gumamnya masih dengan terisak di tanganku.

“Jangan begini, kau membuatku semakin merasa gagal sebagai wanita, Kyu. Kumohon, hentikan…”

Kyuhyun mengangkat wajahnya, menatapku dengan wajah yang terlihat sangat berantakan. Astaga, ke mana diriku sebagai seorang istri hingga membiarkannya terlihat begitu berantakan? Aku benar-benar istri yang gagal.

“Kau boleh membunuhku, Hye. Aku siap menggantikan nyawa yang sudah kubuang.” Ia menahan kedua tanganku di pipinya dan mengecupnya dalam.

Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku membunuh orang yang selama ini menjadi penopang kehidupanku? “Tidak, Kyu. Kau tidak salah,” ucapku dengan suara bergetar.

Ia menggeleng kuat, membiarkan jemariku semakin dibasahi oleh cairan bening yang terus menetes keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Suara isakan kembali terdengar dari bibirnya yang dulu selalu mengumandangkan tawa dan bisikan hangat di telingaku. Tapi kini tawa itu telah sirna, digantikan oleh tangisan yang mampu mengiris-iris nuraniku.

“Aku bersalah. Aku membunuh anak itu. Aku membunuh anak kita…” Suaranya semakin tercekat, hanya isak tangis yang terdengar begitu jelas. Kupikir hanya aku yang terluka, tapi ternyata aku salah.

“Aku siap menjalani kehidupan ini asal bersamamu, Kyu…” bisikku, membuatnya kembali menatapku. “Aku siap bertahan sesakit apapun, asalkan aku bersamamu.”

Seketika itu, lengkungan itu muncul di bibirnya, sebelum aku menarik tubuhnya dengan lemah ke dalam pelukanku dan membiarkan rasa hangat itu menggantikan dinginnya kehampaan yang kurasakan.

Apa seperti ini rasanya kehilangan?

**

 

Kami melangkahkan kaki menuju lapangan parkir rumah sakit. Hari ini aku sudah boleh pulang setelah benar-benar pulih karena operasi pengangkatan rahim itu. Kyuhyun membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, sementara aku masih terdiam di depan mobil dengan tatapan yang tertuju pada seorang bocah yang tampak berlari-larian di taman dekat rumah sakit. Senyumnya, tawanya, dan binaran di matanya. Apa aku masih bisa mendapatkan semua itu dari darah dagingku sendiri?

“Hye-ah?” Aku tersentak ketika kurasakan Kyuhyun menyentuh pundakku. Sejak kapan dia keluar dari mobil? Ia mengikuti arah pandangku dan mendapati bocah itu masih di sana. Ia menghela nafas panjang, lalu membalikkan tubuhku dan memaksaku untuk menatap kedua matanya.

“Kita sama-sama bertahan, ya?” bisiknya seraya mengecup bibirku singkat. Aku hanya mengangguk lemah sebagai jawaban, lalu senyumku mengembang saat kurasakan kedua tangannya menarikku ke dalam pelukannya.

“Kau adalah kekuatanku, Kyu. Aku akan bertahan, sesulit apapun.”

Kurasakan ia mengangguk di pundakku. Ia mengeratkan pelukan kami dan membiarkanku menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Aku mencintaimu, Hye… Jeongmal saranghae.

Dan dapat kurasakan bibirku melengkung secara perlahan, walau sebulir air mata kembali jatuh dari pelupuk mataku. “Nado, Cho Kyuhyun.”

.

.

Even in this world of emptiness, I will be the one to love you so run with me

(SHINee–Run With Me)

.

.

-END-

 

 

Note: Hiks, angst lagi TT.TT Salahkan TJ yang membuatku galau dan akhirnya terinspirasi buat nulis cerita beginian >< Bagi yang mau baca originalnya buka aja link yang di atas, asli cerita bikinan TJ nggak pernah gagal, sumpeh! Tapi hasilnya lebih menyedihkan dibandingkan cerita ini *menurut saya* karena endingnya berbeda, jadi siap-siap aja sediain tissue ya 😀

-Kamsahamnida~ ^^

20 responses

  1. Sakiit banget bacanya. Sedih maksimal huhu

    September 29, 2013 at 2:36 pm

    • iya sedih… TT^TT
      makasih ya komentarnya

      September 30, 2013 at 4:16 am

  2. sedih bgt ceritanya.. penggambarannya pas, aku bs menghayati kesedihan Hye. nice story 🙂

    September 30, 2013 at 3:16 am

    • iya sedih huhuhu TT^TT
      makasih yaa 😀

      September 30, 2013 at 4:16 am

  3. ceritanya ngenak banget huhuhu
    sedih

    keren chingu 🙂

    September 30, 2013 at 2:42 pm

    • iya sedih TT^TT
      makasih ya chingu ^^

      October 9, 2013 at 8:45 am

  4. toet Jo_

    T.T sedih banget..
    Sabar ya hae..

    September 30, 2013 at 5:06 pm

    • iyanih.. huhu TT^TT
      makasih ya chingu 😀

      October 9, 2013 at 8:45 am

  5. omg!! so sad 😦
    tp mereka tetap bersama menghadapi cobaan yg bgt menyakitkan,mgkn itu yg d mksd cinta sejati(?)
    yah.. benar2 unbreakable!!
    daebak!! feelnya bener2…

    October 9, 2013 at 8:57 am

  6. lestary 'heechul'

    bacanyaaa pgn nangis thor. baguuusss hwaaaaaa

    October 10, 2013 at 10:30 pm

  7. Feelnya dpt banget..jd ikutan sedih nih bacanya..

    October 11, 2013 at 4:20 am

    • iya.. TT^TT makasih ya 😀

      October 23, 2013 at 6:07 am

  8. sayang banget harus operasi. T~t idung ku jadi meler karena aku memang lagi pilek /ngapain dibilangin sih-_-/ nice ff ^^

    October 14, 2013 at 3:36 pm

    • iya.. kasian ceweknya TT^TT
      wks minum obat dong~ 😉 wkwkwk
      thanks yah 😀

      October 23, 2013 at 6:06 am

  9. Pingback: Everything Will Be Better [Breakable’s Sequel] | Superjunior Fanfiction 2010

  10. shaeunhae

    kyuhyun keren bnget,,,
    terus ngasih kekuatan buat istri.a

    March 12, 2014 at 9:28 am

  11. esakodok

    fondasi oernikahan…mereka saling menguatkan…daebakk…kerennnn

    November 2, 2014 at 3:30 pm

Leave a comment